PENDAHULUAN
Melihat kalimat ‘Istitusi/Lembaga Pendidikan
Islam’ tentunya dari katanya saja sudah mempunyai lekatan makna yang menjurus
pada yayasan, pesantren, madrasah, STAI, UIN, PTIQ dan sebagainya. Dari
tahun-ketahun, institusi ini terus mencetak alumni-alumninya yang mempunya
keahlian diberbagai bidang yang tentunya bidang keagamaan. Namun seberapa
besarkah alumninya tersebut mampu menguasai dunia global saat ini.
Terlepas dari kondisinya saat ini (terjaring
kasus oleh KPK) cukup menarik
apa yang dikatakan oleh Menteri Agama era SBY tersebut yaitu Surya Darma Ali.
“Indonesia memiliki 614 pendidikan tinggi Islam. Namun,
pendidikan tinggi Islam ini masih memiliki beberapa kelemahan. Antara lain,
belum terintegrasinya sistem pendidikan dari strata 1 hingga strata 3. Pendidikan tinggi Islam juga masih kurang memiliki
manajemen pengelolaan yang maksimal. Juga masih memiliki sisi pembiayaan yang
minimal.
Secara teknis masalah yang selalu dirundung lembaga pendidikan Islam adalah
soal isu relevansinya dengan sistem pendidikan sekolah, standar pendidikan yang
belum sama, serta mutu tenaga pendidik yang masih kurang.”[1]apa yang dikatakan oleh Menteri Agama era SBY tersebut yaitu Surya Darma Ali.
Kalimat yang penulis berikan
tanda bold, mungkin menjadi tugas besar kaum intelektual saat ini
khususnya yang bergerak di dunia pendidikan untuk mengetahui konsep-konsep
dasar atau model-model pengembangan manajemen. Agar instiusi tidak hanya sekedar
mengeluarkan ijazah tetapi yang lebih penting lagi mampu melakukan rekonstruksi
pendidikan Islam ke arah yang lebih positif dan minimal dimulai dari manajemen
yang efisien dan efektif.
Oleh sebab itu, penulis
mencoba untuk menyajikan untaian lembaran pembahasan yang berkenaan dengan
Model Pengembangan Manajemen Institusi Pendidikan Islam.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Dasar (Model, Manajemen, Institusi, Pendidikan Islam)
Merujuk pada website organisasi Kamus Besar Bahasa
Indonesia, yang menangani bahasa, kata model memiliki banyak arti diantaranya, pola (contoh, acuan, ragam, dan sebagainya) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan, atau orang yang dipakai sebagai contoh untuk dilukis (difoto).[2]
Pada website organisasi Kamus Bahasa Indonesia
kata manajemen, berarti penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Sedangkan manajer ialah pimpinan yang bertanggung jawab atas jalannya perusahaan dan
organisasi.[3]
Arti yang terkandung dari kata institusi memiliki
tiga arti yaitu; pertama, lembaga, pranata, telah disusun adat istiadat, kebiasaan, dan aturan-aturan, kedua, sesuatu yg dilembagakan oleh undang-undang, adat
atau kebiasaan (seperti perkumpulan, paguyuban, organisasi sosial, dan kebiasaan
berhalal-bihalal pada hari lebaran), ketiga, gedung tempat diselenggarakannya kegiatan perkumpulan atau
organisasi.[4]
Hubungan antara manajemen pendidikan dengan
institusi, itu terrangkum dalam definisi yang diberikan oleh Manajemen pendidikan adalah suatu usaha penerapan prinsip-prinsip
dan teori manajemen dalam aktivitas pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan
untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.[5]
Sedangkan makna pendidikan Islam adalah proses transinternalisasi pengetahuan dan
nilai Islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan,
bimbingan, pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan potensinya guna mencapai
keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat.[6]
Manajemen pendidikan berasal dari aktivitas lembaga pendidikan yang mencakup pengelolaan aktivitas pengajaran, kepemimpinan dan
berbagai aturan, perencanaan, prosedur pelaksanaan dan manajemen pengawasan. Dari
sini dapat disimpulkan bahwa manajemen pendidikan merupakan proses penerapan
prinsip dan teori manajemen dalam pengelolaan kegiatan di lembaga pendidikan
formal untuk mengefektifkan pencapaian tujuan pendidikan.[7]
Dengan demikian pembahasan ini berkenaan
dengan sejauh mana pola manajemen yang ada pada lembaga-lembaga pendidikan
Islam.
B.
Model-Model Pengembangan Manajemen Institusi
Pendidikan Islam
Berdasarkan lapak
tilas sejarahnya, lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya madrasah dan
pesantren itu tumbuh dari bawah, dari gagasan tokoh-tokoh agama
setempat. Diawali dari pengajian yang lantas mendirikan mushalla/masjid, madrasah
diniyah, dan kemudian mendirikan pesantren atau madrasah. Sebagian besar
tumbuh dan berkembang dari kecil dan kondisinya serba terbatas. Selanjutnya ada
yang tubuh dan berkembang dengan pesat atau mengalami continuous
quality improvement, ada juga yang stagnant (jalan di tempat)
dan ada pula yang tidak bisa stagnant. Bagi yang terus berkembang hingga mampu
mendirikan lembaga-lembaga pendidikan umum dan perguruan tinggi, didukung oleh
usaha-usaha lain yang bersifat profit seperti pertanian, perdagangan,
percetakan, industri jasa dan lain sebagainya.
Sejak
dekade 90-an, kesadaran umat untuk meningkatkan mutu lembaga pendidikan
Islam mulai bangkit dimana-mana dan beberapa di antaranya telah mampu menjadi
sekolah unggul atau sekolah yang efektif (effective school). Yang
menjadi persoalan adalah model manajemen yang bagaimana yang tepat bagi
pendidikan Islam yang memiliki mutu tinggi dan berkarakter islami?
Adapun model-modelnya yaitu
sebagai berikut:
1.
Model Manajemen Bernuansa Entrepreneurship.
Sebagaimana dikemukakan di muka bahwa
sebagian besar pendidikan Islam tumbuh dan berkembang dari bawah dan dari
kecil. Manajemen yang tepat adalah manajemen yang dapat memberikan nilai
tambah. Manajemen yang dapat memberi nilai tambah adalah manajemen yang bernuansa
entrepreneurship. Rhenald Kasali dalam “Paulus Winarto menegaskan bahwa
seorang entrepreneur adalah seorang yang menyukai perubahan,
melakukan berbagai temuan yang membedakan dirinya dengan orang lain”, menciptakan nilai tambah, memberikan manfaat bagi dirinya
dan orang lain, karyanya dibangun berkelanjutan (bukan ledakan sesaat) dan
dilembagakan agar kelak dapat bekerja dengan efektif di tangan orang lain.
Seorang manajer yang sekaligus sebagai seorang entrepreneur memiliki
karakter sebagai berikut: memiliki keberanian mengambil resiko, menyukai
tantangan, punya daya tahan yang tinggi punya visi jauh ke depan dan selalu
berusaha memberikan yang terbaik.
Menjadi seorang entrepreneur diperlukan
integritas yang kokoh, memiliki etos kerja yang tinggi dan kesanggupan untuk
menghadapi tantangan, hambatan dan bahkan ancaman.
Seorang entrepreneur adalah orang yang berani mengambil keputusan
“keluar dari zona nyaman dan masuk ke dalam zona ketidakpastian (penuh resiko)”.
Manajer yang biasa (konvensional) sebenarnya adalah orang yang paling
membutuhkan keamanan dan status quo, dan sebaliknya takut pada
perubahan. Hal ini wajar karena ia sedang berada di puncak piramida dalam
struktur organisasi dengan segala fasilitas, kedudukan dan kehormatan yang
melekat padanya.[8]
Seorang entrepreneur pada
dasarnya adalah seorang pembaharu (innovator) karena melakukan sesuatu
yang baru, dianggap baru atau berbeda dari kondisi sebelumnya. Apa yang dilakukan itu membawa perubahan ke
arah yang lebih baik dan memberi nilai tambah bagi diri
maupun orang lain. Dalam upaya untuk menciptakan nilai tambah seorang entrepreneur sangat
mengutamakan kekuatan brand, yaitu citra atau merek yang kuat atas
apa yang dilakukannya. Dengan brand yang baik jelas akan
memberikan value yang tinggi. Brand image bagi
sebuah lembaga pendidikan merupakan aset yang paling berharga yang mampu
menciptakan value bagi stakeholder dengan
meningkatkan kepuasan dan menghargai kualitas dan akhirnya melahirkan
kepercayaan. Seorang manajer yang sekaligus entrepreneur bukan sekedar bisa
membangun brand belaka, namun juga memanfaatkan kekuatan brand untuk
melipatgandakan akselerasi sebuah perubahan.
Berikut kalimat
singkat, menarik yang diucapkan oleh KH Ahmad Dahlan, ”Hidup-hidupi
Muhammadiyah dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah”. Dapat ditafsirkan
dalam konteks semangat entrepreneurship. Artinya setiap orang yang
bekerja di lembaga amal usaha Muhammadiyah harus mampu memberikan nilai tambah
bagi perkembangan lembaganya. Dengan cara inilah akan terjadi penumpukan capital (capital
development) sehingga amal usaha Muhammadiyah dapat terus tumbuh dan
berkembang.
Institusi yang
memiliki nuansa entrepreneur, juga akan memikirkan bagaimana
cara melakukan manajemen ketahanan pangan. Artinya keungan yang ada pada
bendahara itu bisa terus berlangsung dan berkembang.
Manajemen ketahanan
pangan, telah diberikan contohnya oleh Nabi Yusuf as. yaitu sebagai berikut:
a.
Mensyukuri dan
mengoptimalisasikan pemanfaatan sumber daya alam.
Penyelenggara
institusi pendidikan Islam, hanya mempunyai dua pilihan dalam menjalani proses
tersebut. Pilihan itu ialah syukur ataukah kufur. Syukur akan makmur, dan kufur
akan kecebur (artinya berada pada posisi terendah dan hina). Juga mampu
memanfaatkan sarana dan prasarana yang sudah disediakan oleh alam.
b.
Etos bercocok tanam dan memproduksi
pangan.
Poin ini meniscayakan
adanya manajemen perencanaan pembenihan, pengolahan lahan, penanaman dan
perawatan. Maksudnya lembaga pendidikan diharapkan bisa melaksanankan rekrutment
dengan baik, proses pembelajaran yang pengajarnya tidak hanya cerdas,
tetapi transformatif dan memberikan pelayanan (service) yang maksimal
kepada warga dalam institusi tersebut.
c.
Prinsip swasembada pangan dalam
jangka panjang, minimal tujuh tahun.
Prisnsip swasembada
ialah prinsip usaha mencukupi diri sendiri. Artinya institusi jangan hanya mengharapkan
bantuan pemerintah. Tetapi ada usaha lain yang dilakukan dengan kerja keras.
Sehingga apabila pemerintah mungkin menghentikan bantuannya, tidak ada
kekhawatiran yang tinggi. Apabila mau mencontoh nabi Yusuf as. tentunya hal itu
dilakukan minimal selama tujuh tahun.
d.
Berorientasi futuristik.
Yaitu etos menyimpan atau menabung dan mengelola stok
pangan yang memadai untuk jangka panjang. Setelah berhasil melakukan ketiga
proses diatas, apabila bendahara mempunyai budget yang cukup, tidak
kemudian budget itu digunakan dengan seenaknya, tetapi diharapkan bisa
diinvestasikan.[9]
2.
Model Manajemen
Berbasis Masyarakat (Management Based Society)
Yaitu manajemen yang dapat menjaga hubungan
baik dengan masyarakat sekitar. “Data EMIS Departemen Agama menunjukkan 90%
madrasah berstatus swasta dan 100 % pesantren adalah swasta”. Ini berarti bahwa lembaga pendidikan Islam
adalah lembaga milik masyarakat, atau bisa dikatakan “dari, oleh dan
untuk masyarakat”. Manajemen pendidikan Islam yang tepat adalah manajemen yang
dapat mendekatkan pendidikan Islam dengan masyarakat, diterima, dimiliki dan
dibanggakan oleh masyarakat, dan dapat mendayagunakan potensi-potensi yang
dimiliki masyarakatnya. Konsep Manajemen berbasis sekolah (Management Based
School) dan pendidikan berbasis masyarakat (Society Based Education)
dalam konteks otonomi daerah, lahir karena dilandasi oleh kesadaran bahwa
masyarakat punya peran dan tanggung jawab terhadap lembaga pendidikan di
daerahya disamping sekolah dan pemerintah.
Bagi lembaga pendidikan Islam yang memang
“dari, oleh dan untuk masyarakat”, maka mengembalikan pendidikan Islam kepada
masyarakat merupakan sebuah keniscayaan apabila pendidikan Islam ingin
mengambil dan mendayagunakan kekuatannya. Dengan kata lain, masyarakat adalah
kekuatan utama pendidikan Islam. Mencabut pendidikan Islam dari grass
root nya (masyarakat) justru akan memperlemah pendidikan Islam itu
sendiri. Pondok pesantren yang mampu menjaga hubungan baiknya dengan basis
sosialnya terbukti dapat terus berkembang, dan sebaliknya akan mengalami surut
ketika ditinggalkan oleh masyarakatnya.
Lembaga-lembaga pendidikan di negara-negara
maju terutama yang berstatus privat pada umumnya terdapat lembaga semacam Dewan
Sekolah, Majlis Madrasah, Dewan Penyantun, Majlis Wali Amanah dan
lain sebagainya yang antara lain bertugas memperhatikan hubungan,
kedekatan dan aspirasi masyarakat serta siap mendayagunakan potensi masyarakat
dan memberikan layanan pengabdian (langsung maupun tidak langsung) kepada
masyarakat. Di Stanford University misalnya ada The Board of Trustees yang
berwenang mengelola dana hibah dan hadiah (grand), sumbangan (endowment)
dan lain sebagainya yang dihimpun dari dana masyarakat untuk pengembangan
Stanford University.[10]
Di beberapa
universitas luar, seperti di University of London United Kingdom dan McGill University
Canada misalnya terdapat lembaga yang namanya Board of Governor.
Anggota lembaga ini sebagian besar dari luar universitas yang pada umumnya
memiliki tugas dan peran sebagaimana The Board of Trustees pada
Stanford University. McGill University misalnya, lembaga ini dapat berkembang
karena semangat amal dari masyarakatnya. Diawali dari hibah James McGill yang
menghibahkan sebagian kekayaannya berupa uang 10.000 pound sterling dan tanah
40 hektar beserta real estat yang ada di dalamnya, lembaga ini didirikan dan
berkembang dengan terus menggali dana dari masyarakat sampai sekarang. Di
McGill, semangat beramal itu tidak hanya dalam pengertian materi terutama dari
para dermawan dan hartawan, tetapi juga perbuatan dengan kontribusi tenaga maupun
pikiran. Dosen, karyawan dan pimpinan McGill rela bekerja keras karena dilandasi
oleh semangat amal, semangat beribadah.
Semangat beramal untuk membangun lembaga
pendidikan dalam tradisi iman umat Islam sebenarnya bukan sesuatu yang baru,
bahkan umat Islam pernah menjadi pelopor (avant-garde) dalam komitmennya
mengembangkan lembaga pendidikan melalui semangat amal. Yang menjadi persoalan
sekarang adalah, bagaimana upaya rekonstruksi semangat beramal
ini dalam mengembangkan pendidikan Islam? Pertama, adanya
lembaga semacam Board of Trustees atau semacam Majlis Wali
Amanah yang anggotanya dari wakil masyarakat yang memiliki integritas dan
komitmen yang tinggi terhadap pendidikan Islam. Kedua, perlu
dibangkitkan kembali semangat juang (jihad), etos kerja semua komponen stake holder internal sebagai wujud amal
(perbuatan) nyata. Ketiga, perlu diterapkan manajemen mutu terpadu
(total quality management) dalam penyelenggaraan pendidikan Islam.[11]
3.
Model Manajemen Berbasis Masjid (Management Based Mosque)
Embrio pendidikan Islam adalah Masjid.
Manajemen pendidikan Islam yang berbasis masjid adalah manajemen yang dijiwai
oleh nilai dan semangat spiritual, semangat berjamaah, semangat ihlas lillahi
ta’ala (ihlas karena Allah) dan semangat memberi yang hanya berharap
pada ridlo Allah. Proses pembelajaran yang integratif dengan masjid memberikan
nuansa religius yang kental dalam penanaman nilai-nilai religius maupun praktek
langsung pengalaman beragama. Dimulai dari pembiasaan shalat sunah, shalat dzuhur berjamaah dan shalat ashar berjamaah
bagi yang full day school.
Sampai saat ini pun,
sebagian besar institusi pendidikan Islam itu mempunyai masjid atau mushalah
yang menjadi pusat kegiatan spiritual pelajar maupun pengajar. Kata kuncinya
menjadi bagaimana mengaplikasikan konsep manajemen masjid kepada institusi
pendidikan Islam.
Mengapa belajar dari
manajemen masjid, berikut tulisan spektakuler Dr. H. Muhbib Abdul Wahab, MA
yang dimuat pada harian Republika Online (ROL) bahwa alasannya karena “Masjid adalah pusat dan
sumber inspirasi dalam segala hal, karena di masjid semua Muslim hanya mengabdi
dan memohon pertolongan kepada Allah SWT (QS Al-Fatihah [1]: 5). Ayat ini oleh para mufassir, antara lain, dimaknai
ayat pembebasan manusia dari ketergantungan kepada makhluk menuju tauhid
sejati. Shalat berjamaah di masjid tidak hanya melambangkan persatuan
dan kebersamaan, tetapi juga persamaan (equality), egalitarianisme, dan
anti-diskriminasi. Yang kaya dan miskin, pejabat dan rakyat, penguasa dan
pengusaha dapat berdiri dalam shaf yang sama. Tidak ada masjid hanya
dikhususkan para penguasa, pengusaha, atau pejabat. Masjid, seperti halnya
kemerdekaan, adalah hak semua. Masjid mendidik kita untuk mandiri, mengembangkan
semangat kebersamaan, nasionalisme, dan patriotisme sejati”.[12]
Lembaga pendidikan Islam
hendaknya tidak tebang pilih dalam membuat kebijakan. Apabila pelajar terlambat
masuk gerbang, pelajar langsung mendapatkan hukuman, sekalipun murid mempunyai
alasan yang kuat atas keterlambatannya. Tetapi apabila guru yang terlambat,
tidak mendapatkan hukuman. Itulah yang kebanyakan terjadi, karena tidak belajar
dari antidiskriminasinya manajemen masjid.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pola manajemen lembaga pendidikan Islam ialah
model yang dapat dipelajari dan diterapkan agar lembaga pendidikan bisa
berkembang dan tentunya dapat diperhitungkan oleh lembaga pendidikan non Islam.
Pola manajemen tersebut tidak terlepas dari
peran seorang manajer tertinggi. Yang dalam hal ini ialah kepala institusi
(kepala sekolah). Serta adanya soliditas antara semua penanggung jawab pendidikan (orangtua, guru,
masyarakat/lingkungan dan pemerintah.
Pola atau model tersebut ialah:
1.
Model Manajemen Bernuansa Entrepreneurship
Model ini merupakan
model yang menuntut institusi untuk mempunyai mental berwirausaha. Memiliki
ketahanan pangan (ketahanan keuangan) jangka panjang.
2.
Model Manajemen Berbasis
Masyarakat
Model ini ialah model
dimana institusi mampu untuk menjalin hubungan baik dengan masyarakat, mampu
berkordinas dan menerima aspirasi masyarakat. Masyarakat yang memang mampu
untuk beramal, tentunya diberdayakan secara proporsional.
3.
Model Manajemen Berbasis Masjid
Model manajemen berbasis masjid yakni
manajemen institusi yang yang pergerakannya senantiasa bermuatan spiritual atau
religius. Tenaga pengajarnya tidak diskriminatif. Pada tataran ilustratif, imam
yang bacaannya suratnya salah atau lupa, sadar diri berhenti sejenak untuk
mendengarkan petunjuk bacaan yang benar dari ma’mum. Artinya seorang pemimpin
harus aspiratif. Apabila seorang Imam ‘buang angin’ saat memimpin shalat,
hendaknya langsung mundur dan mengambil wudhu. Artinya pemimpin harus sadar
diri, apabila salahnya fatal jangan terus mau jadi pemimpin.
B.
Kritik dan Saran
Dengan ini kami membuka ruang diskusi yang
lebih jauh lagi, demi terciptanya khazanah keilmuan yang lebih sempurna,
khususnya pada pembahasan makalah ini. Silahkan email ke suprihatinalghozali@aol.com!
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Mudjib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta:
Pranada Media, 2006.
Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
Edisi Tiga, Cetakan 3, 2005.
Http://kamusbahasaindonesia.org/, diakses pada 8 Maret 2015.
Http://www.republika.co.id/,
diakses pada tanggal 10 Maret 2015.
Muhbib Abdul Wahab. Manajemen Pangan Ala Nabi Yusuf as, Http://www.republika.co.id/, diakses
pada 9 Maret 2015.
________________________. Spirit Istiqlal. Http://www.republika.co.id/, diakses
pada 9 Maret 2015.
Syafaruddin. Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Ciputat: Ciputat press, 2005.
[1] Http://Khazanah.Republika.co.id/Berita/Dunia-Islam/Islam-Nusantara/12/12/14/Mf0zqx-Lembaga-Pendidikan-Islam-Harus-Jadi-Jawara, diakses pada tanggal 10 Maret 2015.
[2] Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Edisi
Tiga, Cetakan 3, 2005, hal. 751.
[5] Syafaruddin, Manajemen
Lembaga Pendidikan Islam. Ciputat.
Penerbit Ciputat press, 2005,
hal. 122
[7] Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan
Islam. Ciputat.
Penerbit Ciputat press, 2005, hal. 126
[9] Muhbib Abdul Wahab, Manajemen Pangan Ala
Nabi Yususf. as, diposting pada 3 Februari 2014, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/02/03/n0dtpt-manajemen-pangan-ala-nabi-yusuf-as,
diakses pada 9 Maret 2015.
[10] Syafaruddin, Manajemen Lembaga
Pendidikan Islam. Ciputat.
Penerbit Ciputat press, 2005, hal. 57
[11] Syafaruddin, Manajemen Lembaga
Pendidikan Islam. Ciputat.
Penerbit Ciputat press, 2005, hal. 59
[12] Muhbib Abdul Wahab, Spirit Istiqlal,
diposting pada 22 Agustus 2013, Jakarta: http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/08/22/mrwy9w-spirit-istiqlal, diakses pada 9 Maret 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar