WELCOME

WELCOME TO MY BLOG

Sabtu, 14 Maret 2015

CORAK TAFSIR FIKIH pada Ulumul Quran

ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$#
A.           Mukaddimah
Alat bantu dalam memahami al-Quran lebih dalam, dikenal dengan istilah tafsir. Dalam hal ini tentunya dilakukan oleh mufasir yang mempunyai kapasitas dibidang tafsir, serta mufasir itu tidak menyatakan hasil tafsirannya itu paling benar.
Al-Qur’an diturunkan Allah swt. kepada umat manusia dijadikan sebagai hudan, bayyinah dan furqan. Al-Qur’an selalu dijadikan sebagai pedoman dalam setiap aspek kehidupan dan al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam.
Agar  fungsi  al-Qur’an tersebut  dapat  terwujud,  maka  kita  harus menemukan
makna firman Allah swt saat menafsirkan al-Qur’an. al-Qur’an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak.
Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk diinterpretasi), baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.[1]
Alat bantu dalam memahami al-Quran lebih dalam, dikenal dengan istilah tafsir. Dalam hal ini tentunya dilakukan oleh mufasir yang mempunyai kapasitas dibidang tafsir, serta mufasir itu tidak menyatakan hasil tafsirannya itu paling benar.[2]
Sepanjang peradaban pemikiran umat Islam, tentunya tidak sedikit kitab-kitab tafsir yang mencoba memberikan pemahaman kepada kaum muslimin, khususnya kaum yang belum mumpuni untuk memahami al-Quran secara baik dan komprehensif.
Dalam kaidah tafsir, banyak sekali corak-coraknya. Ada corak tafsir ilmi, falsafi, akhlaqi, tarbawi dan tafsir fikih. Namun, pada makalah ini akan lebih spesifik membahas tentang apa itu tafsir fikih.
Karena fikih ini banyak sekali pendapat-pendapat yang variatif, maka akan disinggung juga pengaruh tafsir fikih terhadap perkembangan keilmuan dan keberagaman.
B.            Corak Tafsir Fikih
1.        Pengertian Corak Tafsir Fikih
Dalam suatu pendekatan (ijmali, tahlili , muqarrin), sebuah corak penafsiran tentu memiliki pengaruh terhadap objek materialnya. Dengan hal inilah sebenarnya tafsir mempunyai sebuah keragaman, sehingga ayat al-qur’an seolah memiliki banyak wajah.[3]
Corak dalam literatur tafsir identik dengan kata laun , yang artinya warna. Jadi corak berarti nuansa atau warna khusus yang mewarnai tafsir.[4] Tafsir sendiri sangat bergantung dengan pelakunya (mufasir), sehingga penaafsiran bersifat relativ dan tentatif.[5]
Tafsir sendiri adalah ilmu yang digunakan untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, untuk mengetahui penjelasan makna-makannya serta hukum-hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya.[6] Sedangkan yang dimaksud dengan fikih (yurisprudensi) adalah pemahaman mendalam tentang hukum-hukum Islam, yang mengarah pada diwajibkan (wajib), dilarang (haram), disukai (mustahab), dibenci (makruh), dan dibolehkan (mubah).[7] Kelima hukum ini diistilahkan sebagai ahkam khamsah.
Pengertian dari tafsir fikih sendiri ialah tafsir yang lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam al-Quran. Oleh sebab itu, corak tafsir ini biasa juga dikenal dengan corak tafsir ahkam.[8] Penulis lain memaknai corak tafsir adalah mufasir yang mengarah pada bagaimana melakukan istinbath hukum syar’i terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum syar’i yang lima.[9]
Dari definisi di atas, nampaknya memiliki titik temu pada term ayat hukum (syari). Ayat-ayat hukum inilah yang ditafsirkan oleh mufasir dengan tujuan dapat memberikan pemahaman kepada umat Islam.
2.        Awal Munculnya Penafsiran Fikih
Corak tafsir fikih secara historis sudah berkembang sejak zaman nabi Muhammad saw. sendiri, permasalahan yang muncul dalam perkembangannya hanya seputar metodologis saja. Semakin ke depan, metodologi yang digunakan semakin kompleks.[10] Walaupun terlihat kompleks dalam metodologi ataupun permasalahan kekinian yang muncul, maka itu menunjukan perkembangan peradaban khususnya pada bidang fikih.
Sebelum pada pembahasan yang lebih dalam lagi, berikut adalah sejarah dimana munculnya penafsiran-penafsiran tentang hukum yang ada dalam al-Quran, sejak masa Rasulullah sampai pada Imam Mazhab Fikih.
a.         Masa Rasulullah saw. sampai wafatnya
Pada masa Rasulullah saw. umat Islam dapat memahami isi kandungan al-Qur’an baik yang berkenaan dengan akidah maupun syariah secara tekstual, sesuai dengan bangsa Arab saat itu. Karena apabila mereka mendapati hal-hal yang kurang jelas, mereka langsung datang kepada Rasulullah saw. untuk menanyakan penjelasannya, karena Rasulullah sebagai referensi dan penafsir pertama terhadap al-Qur’an. Oleh karenanya, pada masa itu, penafsiran al-Qur’an tidak mengalami kesulitan, sebab disamping Rasulullah masih ada, juga masalah yang dihadapi para sahabat belum terlalu kompleks.
Namun, setelah Rasulullah berpulang ke rahmatullah dan Islam mulai berkembang ke luar jazirah Arab, mulailah bermunculan banyak kasus dan peristiwa dikalangan umat Islam yang harus dengan segera menuntut pemecahan hukumnya secara benar dan akurat. Langkah pertama yang mereka tempuh adalah meneliti dan mencaari tahu di dalam al-Qur’an. Jika mereka menemukan jawaban di dalamnya, dengan segera mereka menerapkannya. Bila tidak, mereka mengalihkan penelitiannya kepada sunnah Rasulullah. Namun apabila mereka tidak menemukannya jawabannya, mereka mulai berijtihad dengan ra’yu-nya, baik dilakukan secara individual maupun secara kolektif, dengan tetap berpegang kepada prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Salah satu ciri yang patut dipuji pada periode ini dan berhak mendapat acungan jempol serta dapat dijadikan contoh, adalah sikap sportif dan jiwa besar mereka dalam menerima dan menghargai pendapat dan hasil ijtihad orang lain, apabila pada suatu saat hasil ijtihadnya itu dirasa kurang tepat dan ternyata ada hasil ijtihad orang lain yang lebih baik, maka dengan sportif dan lapang dada mereka menarik pendapatnya itu dan mengambil pendapat/ hasil ijtihad orang lain.[11]
Lapak tilas sejarah pada masa ini, masalah-masalah hukum masih bisa ditanyakan langsung kepada Nabi maupun sahabat-sahabat yang mumpuni dalam keilmuannya. Dengan demikian kaum muslimin dengan mudah mendapatkan jawaban atas masalahnya tersebut.

b.         Masa Imam-Imam Madzhab
Periode ini ditandai dengan lahirnya imam-imam madzhab, terutama madzhab yang lima yaitu Imam Ja’far (80-148 H), Imam Abu Hanifah (80-179 H), Imam Malik bin Anas (93-179 H), Imam Syafi’i (150-204 H), Imam Ahmad Hambali (164-241 H).[12] Pada masa ini, Islam telah berkembang dan tersebar sampai ke Asia bahkan Afrika. Oleh karena itu, sudah barang tentu banyak kasus dan permasalahan yang bermunculan dikalangan umat Islam menuntut ketetapan hukumnya. Dalam menyelesaikan kasus-kasus tersebut, para ulama senantiasa berpedoman kepada teks-teks yang terdapat di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Namun, apabila mereka tidak menemukannya, mereka lalu berijtihad dengan menggunakan metodologi istimbath al-ahkam masing-masing.
Dalam upaya penalaran (ijtihad) tentang hukum dari suatu kasus, mereka kadang-kadang sepakat karena sepaham, tetapi tidak jarang mereka berselisih pendapat.[13] Perselisihan itu sering disebabkan oleh perbedaan metode istinbath yang mereka gunakan. Namun, dari hal yang sangat menarik pada masa ini adalah bahwa meskipun mereka berbeda pendapat, mereka tidak pernah fanatik dan egois. Mereka senantiasa merindukan kebenaran dan terus mengadakan penelitian-penelitian. Mereka tidak pernah merasa kalah atau rendah, tetapi justru mereka menumbuhkan jiwa besar dan sikap sportif. Mereka tidak pernah menganggap remeh atau melecehkan pendapat yang lainnya, bahkan pada saat itu dikenal semboyan “madzhabku benar tapi mengandung kemungkinan salah, sedang madzhab selainku salah, tetapi mengandung kemungkinan benar.”Mereka tidak pernah mengharapkan apalagi menganjurkan umat untuk mengikuti pendapat dan hasil ijtihad mereka. Meereka justru mendorong umat untuk kembali dan mendalami al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.[14]
Dengan demikian, munculnya tafsir  fikih ini dilatar belakangi oleh dua faktor. Antara lain faktor internal dan eksternal.[15]
1.        Faktor Internal
Terdapat ayat-ayat Al-Qur’an yang bernuansa hukum (ayat ahkam) seperti ayat tentang sholat, puasa,haji, hukum mawaris dan sebagainya.
2.        Faktor Eksternal
Munculnya berbagai persoalan baru di kalangan umat Islam yang menuntut adanya solusi yang berdasarkan Al-Qur’an dan al-hadits. Sehingga hal ini menuntut para mufassir yang memiliki background dalam bidang fikih untuk mencoba mengistinbath ahkam dari ayat-ayat al-Qur’an secara rinci.

3.        Periode Taqlid dan Fanatisme Madzhab
Periode ini dikenal dengan periode pembelaan madzhab yang dianut. Pada masa ini, fanatisme madzhab sedemikian tinggi sehingga masing-masing penganut madzhab tidak mengenal toleransi atau tenggang rasa terhadap madzhab lain diluar yang dianutnya. Masing-masing memandang pendapat imam madzhabnya bagaikan nash syara’ yang paten dan wajib diikuti.
Penalaran yang dilalkukan para muqollid terhadap nash-nash syara’ bertujuan hanya semata-mata untuk membela pendapat imam madzhabnya, bahkan lebih jauh mereka malah melemahkan madzhab-madzhab lain. Apabila mereka menemukan nash syara’yang kelihatannya paradok dengan pendapat imam madzhabnya, maka mereka berusaha secara maksimal untuk menakwilkan nash tersebut agar sejalan dengan pendapat imam mereka. Apabila nash tersebut sulit ditakwil, mereka beralih kepada teknik nasikh-mansukh atau teknik takhsishyang tujuannya tiada lain, kecuali agar nash tersebut sejalan dengan madzhab imam mereka, meskipun teknik tersebut terlihat agak menyimpang.
Pola diatas pernah ditemukan oleh Al-Khurki (w.340 H), salah seorang pengikut Abu Hanifah, yang mengatakan,
كل آية او حديث يخالف ما عليه أصحابنا فهو مؤول او منسوخ
Artinya: “Bila kami mendapatkan ayat-ayat Al-Qur’an atau Hadits Rasulullah yang kelihatannya bertentangan dengan madzhab kami, maka nash tersebut kami takwilkan atau kami pandang sebagai mansukh. (Al-Subkhi dan Al-Sayis: 1936: 281)[16]
Fenomena fanatik madzhab sangat nyata terpampang tak terelakkan, baik dalam lembaran kitab madzhab klasik dan kontemporer maupun dalam fakta kehidupan. Muatannya sesak dengan saling tuding-menuding, menghujat, dan mencela satu sama lain sehingga memantapkan kita semua bahwa klaim mereka selama ini  “semua madzhab adalah benar” hanyalah omong kosong belaka yang tidak ada buktinya.
Fanatisme memunculkan berbagai dampak negatif yang sangat berbahaya bagi pribadi secara khusus dan masyarakat secara umum. Demi kewaspadaan kita semua agar tidak terjerat dalam belenggunya, akan kami paparkan beberapa dampak tersebut:[17]
a.         Memejamkan mata dari argumen yang kuat dan berpegang dengan argumen yang rapuh.
b.         Mementahkan dalil shahih karena bertentangan dengan madzhab.
c.         Menyulut api perselisihan dan permusuhan
d.        Menolak kebenaran sekalipun sudah jelas hujjahnya
e.         Mempermainkan dalil demi membela madzhabnya.
f.          Merubah nash demi kepentingan madzhab.
g.         Memalsukan hadits demi menjunjung madzhab.
h.         Mewajibkan taklid kepada seorang imam madzhab.

4.        Karakterisitik Tafsir Fiqih
Menurut ulama, tafsir fikih mempunyai beberapa ciri yang berbeda dengan tafsir-tafsir lainnya. Karakeristik tersebut bisa dilihat dari sisi metodologis ataupun produk penafsiranya.
Secara metodologis, tafsir fikih menggunakan metode bira’yi (adanya ijtihad) dan diuraikan secara tahlili. Tahlili disini digunakan karena banyaknya analisa baik secara kebahasaan ataupun secara permasalahan yang dihadapi sangat kompleks.[18] Adapun secara produk, tafsir fikih secara substansial memuat ayat hukum dan secara fungsional diperlukan dalam masalah ibadah atau hukum dalam kehidupan manusia.[19] Sisi metodologis maupun produk, tentunya memiliki peran yang penting dalam memahami sebuah hukum dalam Islam.

5.        Pengaruh Perbedaan Madzhab terhadap Penafsiran
Kelahiran corak tafsir fikih merupakan implikasi dari adanya para ulama yang menekuni disiplin ilmu fikih. Di dalam disiplin ilmu fikih terdapat beberapa ulama yang memilki cara istimbath hukum yang berbeda. Hal ini karena mereka memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda, sehingga produk hukum yang dihasilkan juga memiliki perbedaan yang akhirnya memunculkan beberapa madzhab fikih. Pada perkembangannya, para ulama yang menekuni bidang fikih dari berbagai madzhab mencoba untuk melakuakn istidlal hukum-hukum fikih dari ayat-ayat al-Qur’an. Hal itu dilakukan baik untuk kepentingan mendukung teori-teori fikih, maupun untuk membela madzhab fikih yang diikutinya.
Dengan demikian, tafsir corak fikih dibangun atas wawasan penafsirnya dalam bidang fikih, atau dengan bahasa lain tafsir fikih berada di bawah pengaruh ilmu fikih. Hal ini karena fikih telah menjadi minat dasar penafsirnya sebelum melakukan penafsiran.[9] Sehingga dengan adanya latar belakang ilmu fikih dari berbagai madzhab, maka hasil penafsiran yang telah dilakukan juga memiliki perbedaan.

6.        Contoh Tafsir Fikih
Ayat ahkam yang perlu penafsiran tentunya tidak sedikit. Namun dalam hal ini, perlu disampaikan beberapa contoh ayatnya yang akan menjadi gambaran dasar terhadap pemahaman terhadap tafsir fikih.
a.         Tafsir QS. Al-Maidah ayat 6, Cara Berwudhu
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4 .....
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”...
Asbabun nuzul ayat ini, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari yang isinya antara lain: bahwa dalam suatu perjalanan, kalung Aisyah yang hilang di tempat yang bernama: Baida, sehingga terpaksa rombongan Nabi bermalam di tempat itu. Pada waktu subuh Rasulullah bangun lalu mencari air untuk berwudu tetapi beliau tidak mendapat air, maka turunlah ayat ini.
Adapun penjelasannya, kata wamsahuu bi ruusikum (sapulah kepalamu), 5 imam fikih menafsirkannya sebagai berikut; Imam Hambali mewajibkan semua bagian kepala dan juga dua telinga. Imam Maliki mewajibkan mengusap semua bagian kepala (adapun telinga tidak wajib). Imam Hanafi menafsirkan wajib mengusap seperempat kepala, tetapi cukup dengan memasukan kepala ke dalam air atau menuangkan air ke atas kepalanya. Imam Syafi’i mengatakan wajib mengusap sebagian dari depan kepala, sekalipun sedikit. Tetapi cukup dengan membasahi atau menyiram, sebagai pengganti dari mengusap. Imam Ja’fari mengatakan bahwa wajib mengusap sebagian dari depan kepala, dan cukup dengan sangat sedikit sepanjang bisa dinamakan mengusap kepala, tetapi tidak boleh membasahi dan tidak boleh pula menyiramnya.[20]
Upaya penafsiran yang dilakukan oleh lima mazhab tersebut, sepakat dalam penentuan wajibnya mengusap kepala. Yang menjadi perbedaan hanyalah kadar air dan batasan kepalanya.
Yang menjadi penyebab perbedaan itu ialah pandangan mengenai huruf ba’ (baca bi),[21] yang diinterpretasikan oleh imam lima mazhab tersebut.
Dari ayat ini juga muncul pertanyaan, bagaimana hukum tertibnya. Terlebih dahulu muka - kedua tangan – kepala - dua kaki, itu wajib sekaligus syarat sahnya wudhu menurut Imam Ja’far, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali. Lain hal dengan penafsiran Imam Hanafi dan Imam Maliki yakni tidak wajib tertib, dan boleh dimulai dari dua kaki dan berakhir di muka.[22]
Untuk satu ayat hukum wudhu, penafsiran Imam Fikih ini nampaknya begitu variatif, yang tentunya diimbangi dengan argumentatif.

b.        Tafsir QS. An-Nisa ayat 20, Mahar
Berapa banyak mahar yang harus disiapkan untuk melakukan pernikahan, dalam hal ini ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat QS. An-Nisa ayat 20 berikut ini.
÷bÎ)ur ãN?Šur& tA#yö7ÏGó$# 8l÷ry šc%x6¨B 8l÷ry óOçF÷s?#uäur £`ßg1y÷nÎ) #Y$sÜZÏ% Ÿxsù (#räè{ù's? çm÷ZÏB $º«øx© 4 ...
Artinya: “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambilnya kembali...”.
Mengenai asbabun nuzul ayat ini, Ada beberapa riwayat yang menjelaskan tentang peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat ini.[23] Menurut riwayat Bukhori, Ibnu Abbas berkata: ”Dahulu, apabila seseorang meninggal dunia, maka para walinya (keluarga pihak suami) akan menguasai istrinya. Jika mereka berkehendak, mereka dapat menikahinya untuk dirinya atau menikahkannya kepada orang lain atau tidak menikahkan kepada siapapun. Mereka lebih berkuasa ketimbang keluarganya. Maka turunlah ayat ini ’Wahai orang-orang yang beriman tidak halal bagimu untuk mempusakai wanita dengan cara paksa...”. ibnu Abbas juga berkata: ”Seorang laki-laki dahulu mewariskan perempuan kerabatnya. Kadang ditahannya hingga mati atau ia harus mengembalikan mahar yang pernah diterimanya. Maka Allah menjelaskan hukumnya”. (Bahwa hal itu dilarang.) Ibnu Abbas juga berkata: ”Seseorang apabila meninggal dunia dan meninggalkan seorang wanita, maka teman dekatnya (kerabat) akan melemparkan bajunya kepadanya. Maka diapun dilarang berhubungan dengan manusia. Apabila cantik, maka ia akan menikahinya, apabila buruk rupa maka akan ditahan/ ditawan hingga mati, maka ia akan menjadi ahli warisnya.” [24]
Berdasarkan sejarah juga, dari ayat inilah seorang wanita pernah protes kepada Umar bin Khattab ra yang membuat kebijakan membatasi nilai mahar. Suatu ketika Umar ra naik ke atas mimbarnya Rasulallah saw seraya berkata: ”Wahai manusia betapa mahalnya mahar yang kalian tetapkan bagi wanita! Padahal Rasulallah saw dan para sahabatnya dahulu maharnya hanya sekitar 400 dirham atau kurang (dalam riwayat lain 12 uqiyah). Seandainyanya banyaknya mahar adalah bentuk taqwa kepada Allah atau kemuliaan, niscaya kalian tidak akan mampu menandingi mereka. Aku beritahukan bahwa mahar seseorang untuk wanita tidak boleh lebih dari 400 dirham”. Kemudian beliau turun dari atas mimbar. Tiba-tiba seorang wanita bangsawan Quraisy protes seraya berkata: ”Wahai Amirul mukminin, kamu melarang manusia untuk memberikan mahar lebih dari 400 dirham?”. Umar menjawab: ”Ya”. Wanita itu berkata: ”Tidakkah apa yang Allah turunkan dalam Al Qur’an?”. Umar bertanya: ”Apa itu?”. Wanita itu berkata: ”tidakkah kamu mendengar firman Allah ”... dan kamu memberikan kepada kepada mereka qinthor..”. Umar berkata: ”Ya Allah maafkanlah, semua manusia dapat lebih mengerti dari pada Umar”. Kemudian beliau kembali ke mimbar dan berkata: ”Wahai manusia tadi aku melarang kalian untuk memberikan mahar lebih dari 400 dirham. Siapa yang hendak memberi hartanya sesuai dengan keinginannya silakan saja”.[25]
Ulama menjelaskan tentang tidak ada batasan maksimal sebuah mahar. Namun bukan berarti ayat ini menganjurkan untuk memahal-mahalkan mahar. Karena disamping ada sebuah riwayat hadits yang menganjurkan untuk mempermudah mahar (di antaranya, riwayat Aisyah, Rasulullah saw bersabda, bahwa sesunguhnya diantara keberkahan wanita adalah memudahkan lamaran dan maharnya HR. al-Hakim, Ahamad dan al-Baihaqi),[26] juga ternyata memahalkan mahar sangat berdampak negative dalam kehidupan sosial masyarakat. Tidak jarang Negara atau daerah yang mempuyai tradisi memahalkan mahar akan dijumpai  banyaknya pemuda yang tidak mampu nikah, banyaknya perawan tua dan berbagai penyimpangan seksual.
Hal yang terbaik dalam masalah mahar adalah jangan sampai masalah mahar menjadi penghalang seseorang untuk menikah, tetapi disesuaikan kondisi ekonomi calon suami dan keridhoaan calon istri.  Sebagaimana Rasulullah saw, suatu saat menikahkan seorang pemuda terkadang hanya dengan hafalan al-Quran yang ia miliki. Namun Rasulullah sendiri ketika menikahi Saiyyidah Khodijah, mahar yang diberikan kepada istrinya adalah 20 ekor unta muda. Bahkan sumber lain mejelaskan, selaian itu Rasulullah juga menambahkan emas 12.5 ons dari harta pribadi.
Imam Fikih sepakat bahwa tidak ada batas maksimal mahar. Akan tetapi, mereka berbeda penafsiran mengenai berapa batas minimalnya.
Imam Syafi’i, Imam Hambali, dan Imam Ja’far berpendapat bahwa tidak juga ada batas minimal dalam mahar. Apapun yang dapat dijadikan harga dalam jual beli boleh dijadikan mahar sekalipun hanya satu qirsy (pecahan mata uang Mesir).
Menurut pendapat Imam Hanafi, batas jumlah minimal mahar yaitu sepuluh dirham. Apabila ada akad nikah yang maharnya kurang dari sepuluh dirham, maka akad tetap sah. Hanya saja wajib membayar kemudian agar genap menjadi sepuluh dirham.
Dari perbedaan yang ada menurut empat imam mazhab diatas, Imam Maliki mempunyai batas minimal yang juga berbeda. Menurutnya, batas jumlah minimal mahar adalah tiga dirham. Jika akad dilakukan dengan mahar yang kurang dari batas minimal tersebut, kemudian terjadi hubungan suami istri, maka suami harus membayar tiga dirham. Tetapi bila belum melakukan hubungan suami istri,  suami boleh memilih antara membayar tiga dirham (dengan melanjutkan perkawinan) atau mem-faskh akad, lalu membayar separuh mahar yang juga disepakati oleh pengantin wanita.
Keberagaman pendapat ini, tentunya memiliki kadar maslahat yang berbeda. Mana yang bisa diterima, silahkan diamalkan. Adapun pendapat yang tidak bisa diterima, tentunya apresiasi harus tetap diberikan.
c.         Tafsir QS. Al-Baqarah ayat 228, Iddah
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 ...
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’
Yang dimaksud dengan quru‘ adalah masa suci. Dalam kitabnya, al-Muwattha’, Imam Malik meriwayatkan, dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwasanya Hafshah binti Abdurrahman pindah (ke rumah suaminya) ketika ia menjalani haid yang ketiga kalinya. Kemudian hal itu disampaikan kepada Umrah binti Abdurrahman, maka ia pun berkata, “Urwah benar.” Namun hal itu ditentang oleh beberapa orang, di mana mereka mengatakan, sesungguhnya Allah Ta’ala telah berfirman dalam kitab-Nya, Î ثَلاَثَةَ قُرُوءٍ Ï “Tiga kali quru’.” Lalu Aisyah menuturkan, “Kalian memang benar, tetapi tahukah kalian apakah yang dimaksud dengan quru‘? Quru‘ adalah masa suci.”
Imam Malik meriwayatkan, dari Ibnu Syihab, aku pernah mendengar Abu Bakar bin Abdur Rahman mengatakan, “Aku tidak mengetahui para fuqaha’ kita melainkan mereka mengatakan hal itu.” Yang dimaksudkan dengan hal itu adalah ucapan Aisyah radhiallahu ‘anha. Lebih lanjut Imam Malik mengatakan, “Pendapat Ibnu Umar itulah yang menjadi pendapat kami.”
Hal yang sama juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit, Salim, al-Qasim, Urwah, Sulaiman bin Yasar, Abu Bakar bin Abdurrahman, Abban bin Utsman, Atha’ bin Rabah, Qatadah, az-Zuhri, dan beberapa fuqaha’ lainnya. Itu pula yang menjadi pendapat Imam Malik, Syafi’i, Dawud, Abu Tsaur, dan sebuah riwayat dari Ahmad.[27]
Iddah tiga quru’, hukumnya berlaku bagi wanita yang tidak hamil, usianya sudah mencapai 9 tahun,  telah mengalami haidh dan bukan menopause. Demikian kesepakatan semua imam mazhab fikih berkenaan penecualian wanita yang mendapatkan iddah.
Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ja’far menginterpretasikan quru’ dengan masa suci (tidak haidh), sehingga apabila wanita dicerai pada hari-hari terakhir menuju hari sucinya, maka masa tersebut dihitung sebagai masa iddah, yang kemudian disempurnakan dengan dua masa suci sesudahnya.
Penafsiran mereka tersebut berbeda dengan Imam Hanafi dan Imam Hambali. Menurutnya, jika wanita dicerai pada masa haidh, wanita itu tetap harus melewati tiga kali masa haidh setelah suci dari waktu haidh pada waktu ia ditalak.[28]
Pembahasan iddah ini tentunya masih banyak lagi, seperti bagaimana iddah terhadap wanita yang suaminya wafat, wanita yang suaminya hilang, bahkan wanita yang dicerai karena berzina dan hamil. Semuanya itu mungkin akan menjadi diskusi yang khusus.
7.        Tokoh Tafsir Fikih dan Tafsirnya
a.         Madzhab Hanafi
1)        Ahkam Al-Quran, Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah At-Thahawi Al-Hanafi (w. 321 H) 
2)        Ahkam Al-Quran, Abu Al-Hasan Ali bin Musa bin Yazdad Al-Hanafi (w. 350 H) 
3)        Ahkam Al-Quran, Ahmad bin Ali Ar-Razi, lebih dikenal dengan Al-Jasshash Al-Hanafi (w. 370 H) 
4)        Talkhish Ahkam Al-Quran, Tahdzib Ahkam Al-Quran, Jamauddin Mahmud bin Mas’ud, lebih dikenal dengan Ibnu Siraj Al-Hanafi (w. 770 H) 
5)        At-Tafsirat Al-Ahmadiyah fi Bayan Al-Ahkam As-Syar’iyyah, Ahmad bin Abi Sa’id bin Ubaidillah Al-Hanafi (w. 1130 H) 
b.         Madzhab Maliki
1)        Ahkam Al-Quran, Abu Abdillah Muhammad bin Sahnun Al-Qairuwani (w. 255 H)
2)        Ahkam Al-Quran, Al-Qadhi Abu Ishaq Isma’il bin Ishaq bin Isma’il Al-Maliki (w. 282 H) 
3)        Ahkam Al-Quran, Abu Al-Hakam Mundzir bin Sa’id bin Abdillah Al-Maliki (w. 355 H) 
4)        Ahkam Al-Quran, Abu Bakr Muhammad bin Abdillah, yang dikenal dengan Ibnu Al-Arabi (w. 543 H) 
5)        Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi (w. 671 H) 
c.         Madzhab Syafi’i
1)      Ahkam Al-Quran, Imam Syafi’i (w. 204) 
2)      Ahkam Al-Quran, Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi Al-Baghdadi As-Syafi’i (w. 240 H.)
3)      Ahkam Al-Quran, Imaduddin Abu Al-Husain Ali bin Muhammad At-Thabari, dikenal degan Al-Kiya Al-Harasi As-Syafi’i (w. 450 H)
4)      Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil, Jalaluddin As-Suyuthi As-Syafi’i (w. 911 H)
5)      Ahkam Al-Kitab Al-Mubin, Ali bin Abdillah bin Mahmud As-Syafi’i (w. 890 H)
d.        Madzhab Hanbali
1)        Ahkam Al-Quran, Abu Ya’la Muhammad bin Al-Husain bin Muhammad bin Khalaf bin Farra’ Al-Hanbali (w. 458) 
2)        Ahkam Ar-Ray bin Ahkam Al-Ay, Syamsuddin Muhammad bin Abdirrahman As-Sha’igh Al-Hanbali (w. 776 H) 
3)        Azhar Al-Fulah fi Ayah Qashr As-Shalah, Mar’i bin Yusuf bin Abi Bakr Al-Maqdisi Al-Hanbali (w. 1033 H)[29]
e.         Mazhab Ja’fari
1)        Al-Jawahir
2)        Al-Lum’ah
3)        Al-Urwatul Qustha
4)        Furuul Kaffi
5)        Kandzul Irfan
6)        Malla Yadzuruhul Fakih
7)        Minhaj As-Shalihin
8)        Tahrirul Wasilah
9)        Tahzibul Ahkam
10)    Wasilah An-Najah
11)    Wassail As-Syiah[30]
Adapun kitab fikih yang juga menjadi rujukan kaum muslimin, antara lain:
1.         Ahkamul Qur’an al-Jashash, karya Abu Bakr Ahmad bin Ali Ar-Razi al-Jashosh (305-370H/917-980M)
2.         Ahkamul Qur’an Ibn Al-‘Arabi, karya Abu Bakr Muhammad bin Abdillah (468-543H/1075-1148M)
3.         Al-Jami’ lil Ahkamil Qur’an wal Muhayyin lima Tadhammanahu Mina sunah wa Ayyil Qur’an, karya Abi Abdillah Muhammad al-Qurthubi (w. 671H/1272M)
4.         Tafsir Fathul Qadr, karya Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah as-Syaukani (1173-1250H/1759-1839M)
5.         Tafsir al-Maraghi, karya  Ahmad Musthafa al-Maraghi (1298-1373H-1881-1945M)
6.         Tafsir Ayatul Ahkam, karya Muhammad Ali as-Sayis, Dosen Univ. Al-Azhar
7.         Ahkamul Qur’an al-Kiya al-Harasi, karya al-Kiya al-Harasi (w. 405H/1058M)
8.         Tafsir Ayat-ayat Hukum, karya Muhammad Amin Suma.[31]

8.        Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Fikih
a.         Kelebihan Tafsir Fikih
Meskipun peluang terjadinya perbedaan pendapat dalam melakukan penafsiran al-Qur’an lewat pendekatan fikih sangatlah besar, namun penafsiran lewat pendekatan ini memiliki bebarapa kelebihan, diantaranya:
1)        Memberikan kejelasan terhadap umat Islam akan kandungan hukum syari’at yang terdapat dalam al-Qur’an, hal ini menjadi titik tolak pemahaman umat bahwa sesungguhnya al-Qur’an tidak hanya menjelaskan tentang aspek yang bersifat transenden dan metafisik (aqidah), akan tetapi ia juga menjelaskan tentang aspek-aspek syari’ah, disisi lain juga memberitahukan bahwa syari’ah atau hukum bukan semata-mata merupakan produk fuqaha’ akan tetapi telah menjadi bagian dari nash-nash al-Qur’an bahkan lebih dominan yang mampu mengatur tatanan hidup manusia baik individu maupun sosial.
2)        Upaya untuk memberikan kesepakatan praktis yang bertujuan untuk mempermudah manusia dalam mengaplikasikan seluruh bentuk hukum-hukum Allah yang termaktub di dalam al-Qur’an setelah terjebak ke dalam perbedaan mazhab dogmatis serius yang bersifat teoritis.
3)        Tafsir al-Qur’an dengan pendekatan fikih meskipun memberikan peluang terjadinya perbedaan pemahaman terhadap teks-teks Quraniyyah tetap memberikan sumbangsih pemikiran bahwa sesungguhnya seluruh bentuk aturan dan hukum dalam kehidupan baik individu maupun sosial tetap harus tunduk kepada al-Musyarri’ al-Awwal (Allah) melalui kalam-Nya yang mulia kemudian kepada pembawa wahyu dan risalah yang kemudian dikenal sebagai al-musyarri’ ats-Tsany ba’da Allah (Rasulullah Saw) melalui Sunnah beliau demi kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
4)        Tafsir fikih berusaha untuk membumikan al-Qur’an lewat pemahaman ayat-ayat qauliyah kepada ayat-ayat kauniyyah guna meberikan penyadaran, pemberdayaan dan advokasi terhadap permasalahan kehidupan manusia.
5)        Tafsir fikih kendatipun beragam tetap memberikan kekayaan bagi khazanah intelektual muslim dunia, sebab tanpa adanya penafsiran al-Qur’an dalam bentuk ini, maka umat Islam secara khusus dan manusia secara umum akan kehilangan akar hukum dan perundang-undangan yang sesungguhnya.
b.         Kelemahan Tafsir Fikih
Hasil olah pikir manusia biasa tidak akan pernah lepas dari berbagai macam bentuk kekurangan dan kelemahan, sebab sudah menjadi bagian dari suratan takdir bahwa manusia adalah makhluk yang lemah bisa benar dan biasa salah. Demikian juga adanya dengan penafsiran al-Qur’an yang meskipun landasan penafsirannya adalah untuk menemukan saripatih dari perkataan Yang Maha Benar secara mutlak namun dilakukan oleh manusia, maka pasti akan terdapat kelemahan. Dan diantara kelemahan penafsiran al-Qur’an melalui pendekatan fikih adalah:
6)        Tafsir fikih cenderung terjebak pada fanatik mazhaby sehingga memunculkan sikap ortodoksi, pembelaan dan pembenaran terhadap madzhab tertentu dan menafikan keabsahan mazhab-mazhab lainnya. Sikap ini terwariskan kepada berpulu-puluh generasi hingga saat ini.
7)        Tafsir fikih melakukan reduksi pada satu aspek tertentu dari al-Qur’an (penafsiran parsial) padahal al-Qur’an meliputi akidah dan syariah, konsep dan sistem, teori dan praktek  yang membutuhkan pemahaman dan penafsiran secara universal.
8)        Tafsir fikih lebih mengedepankan penafsiran al-Qur’an dengan menghubungkannya pada konteks sosial tertentu dan cenderung mengabaikan nilai-nilai universal hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an (rahmatan li al-’alamin). Sebab tidak semua bentuk permasalahan yang telah terjawab pada masa lampau masih berlaku pada masa sekarang, sehingga dibutuhkan penafsiran terhadap ayat-ayat hukum al-Qur’an yang sesuai dengan kebutuhan zaman saat ini tanpa menafikan kerja-kerja yang bersifat analogi terhadap masa lampau dan berusaha untuk tidak terjebak pada perbedaan teoritis mazhaby.[32]
Dengan demikian, adanya keberatan dari beberapa pihak mengenai keberadaan tafsir fikih, yakni apabila al-Quran selalu dipandang sebagai kitab suci yang berisi ketentuan perundang-undangan maka akan melahirkan suatu pemisahan yang mekanis antara ayat-ayat yang berisi ketentuan hukum yang tidak ada.  ayat-ayat hukum selalu didekati secara atomistis dan harfiah yang akan menimbulkan kebingungan dalam melihat sebuah proses tahapan ajaran al-Quran.[33]

C.           Pengaruhnya Terhadap Khazanah Keilmuan dan Keberagaman
Pada fikihisme setiap madzhab, tentu mempunyai epistimologi terendiri dalam menafsirkan al-Qur’an dengan corak fiqih. Dalam tradisi arab dikenal tiga istilah epistimologi, yaitu bayani, burhani dan irfani. Yang kadang menjadi perdebatan adalah antara bayani dan burhani atau antara tekstualis dan rasionalis. Dalam fiqih, hal ini tentu tidaklah sama, kecenderungan perbedaan dalam fiqih biasanya hanya sebatas perbedaan kondisi atau kualitas seorang fakih tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa fikih itu kondisional, artinya pendapat akan disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi.[34]
Perbedaan dalam fiqih disini secara universal bisa digolongkan ke dalam dua aspek, adanya perbedaan waktu, misalkan antara dulu dengan sekarang. Kedua, adanya pendekatan yang berbeda.[35] Dua faktor inilah yang menjadi perbedaan pandangan hingga menghasilakn pemahaman yang berbeda. Dan sebagai suatu konsekuensi, akibat adanya dua hal tersebut, penafsiran terhadap al-Qur’an banyak memiliki keragaman.
Dengan memperhatikan faktor atau aspek-aspek yang terjadi pada masa ulama fikih tersebut, tentunya banyak hikmah yang dapat dipetik untuk memperkaya khazanah keilmuan masa kini.
Syaikh Muhammad al-Ghozali memuji usulan yang diberikan oleh Syaikh Muhammad ‘Isa Abbasy tentang perlunya membentuk tim untuk melakukan analisis terhadap tafsir (pandangan) ulama-ulama terdahulu mengenai hukum. Sehingga, dapat mengambil hikmah yang diantaranya adalah:
1.        Dapat mengetahui hukum yang disepakati oleh seluruh mazhab ulama fikih tersebut.
2.        Menjadi bahan tambahan ilmiah, selama memiliki dasar syariat yang jelas.
3.        Dalam masalah-masalah yang kontradiktif antara penafsiran yang satu dengan yang lain, maka dapat dilakukan studi mendalam menyangkut dalil-dalilnya, dan mengambil yang kuat tanpa mempertimbangkan mazhabnya.
4.        Penafsiran-penafsiran yang kuat, atau kekuatan argumentasinya berimbang satu dengan yang lain, maka dapat memilih pendapat yang mendatangkan kemaslahatan.
5.        Dapat meninggalkan semua pandangan-pandangan yang telah jelas kesalahan atau kelemahannya.[36]
Dengan itu semua, kaum muslimin semakin cerdas dalam mendudukkan sebuah hukum.
Secara garis besar, ulama fikih terbagi menjadi dua golongan yakni Sunni dan Syiah, keduanya telah memberikan kebebasan kepada kaum muslimin untuk memilih mana penafsiran yang sesuai dengan persoalannya. Selama penafsiran itu tidak bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah.
Kendati berbeda, perbedaan penafsiran ayat-ayat hukum ini, hanyalah berada pada lingkaran furuiyyah.[37] Apabila tidak mempunya ilmu yang mumpuni, terlebih lagi merasa diri paling benar, intoleransi, maka akan memberikan pengaruh yang dahsyat terhadap subjeknya. Dengan demikian, mazhab yang satu akan dengan mudah menyalahkan, menyesatkan bahkan mengkafirkan mazhab selainnya.
Perbedaan tafsir fikih ini memang cukup berbahaya apabila disertai dengan fanatisme buta, sedang fanatisme buta tidak hanya menimbulkan perpecahan, tetapi juga keterbelakangan keilmuan.[38]
Pada akhirnya, tetaplah menjadi orang yang cerdas, kritis, pelajari semua khazanah keilmuan khususnya tafsir fikih, maka Islam semakin berkembang dengan sendirinya.

D.           Kesimpulan
Tafsir fikih merupakan tafsir yang lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam al-Quran. kemudian tafsir ini juga biasa dikenal dengan corak tafsir ahkam.
Awal munculnya penafsiran fikih sudah ada sejak zaman Rasulullah saw. yang kemudian lebih berkembang pesat pada masa lima imam mazhab besar yaitu Imam Ja’far as-Shadiq, Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin nas, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Hambali. Pada masa itulah khazanah keilmuan Islam cukup diperhitungkan dari belan bumi Asia sampai belahan Afrika.
Karakteristik tafsir fikih bisa dilihat dari sisi metodologis dan sisi produk atas ijtihad yang dilakukan oleh ulama fikih.
Sebagai contoh ulama mampu menafsirkan ayat-ayat al-Quran mengenai beberapa topik berikut, seperti cara berwudu, mahar dan masa iddah. Pada masing-masih permasalahan mengenai topik ini, lima imam mazhab ada yang sama penafsiran hukumnya dan ada pula yang berbeda. Perbedaannya itu pun, masing-masing mempunyai hujjah yang kuat.
Corak tafsir fikih memiliki, sisi positif dan negatif. Sisi negatif (kekurangan) maupun positif (kelebihan), tentunya harus diberikan ruang untuk dikritisi lebih jauh lagi.
Akibat perbedaan pendapat, secara tidak langsung telah memberikan khazanah keilmuan yang lebih terhadap peradaban umat Islam. Namun, perbedaan itu akan menjadi sebuah awal kemunduran, apabila para pengkaji tafsir fikih tersebut tidak berada pada fanatisme buta.
Kecerdasan dan sifat keritis yang konstruktiflah yang akan membuat orang khazanah keilmuan Islam akan terus diperhitungkan.
Bagian kesimpulan ini hanyalah dinamika sebuah makalah, yang memang dituntut untuk hal itu. Adapaun kesimpulan yang sesungguhnya ada pada anda sekalian sebagai seorang akademisi militan.
Wallahu’alam .....























KRITIK DAN SARAN
Pemakalah sadar sepenuhnya, bahwa apa yang terkandung dalam tulisan ini, tentunya jauh dari kesempurnaan. Saling mengingatkan itulah yang sangat pemakalah harapkan.
Kritikan yang konstruktif, akan membuat penulis terus berfikir untuk terus maju kedepan guna menyongsong keilmuan yang lebih dalam dan komprehensif.
Adapun saran ataupun menginginkan diskusi yang lebih panjang, mungkin dapat dikirim melalui email berikut ini. suprihatinalghozali@yahoo.co.id 
Tetap semangat untuk menyongsong keilmuan Islam yang lebih komparatif dan menguras otak.
DAFTAR PUSTAKA
Ø  Aibak, Kutbuddin. 2009. Kajian Fiqh Kontemporer. Yogyakarta: Teras.
Ø  Anggota IKAPI, 2013. Khazanah Tafsir Indonesia.  Yogyakarta: LKiS.
Ø  Anshori. 2013. Ulumul Quran. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Ø  As Shobuni, Muhammad Ali. 1981. Mukhtashor Ibnu Katsir. Beirut: Dar Al Quran Al Karim.
Ø  As Shobuni, Muhammad Ali. 1987. At-tibyan fi ‘Ulum al-Qur`an. Beirut: Dar Al Quran Al Karim.
Ø  Ash-Shabuni, Muhammad Ali. 2003. At-tibyan fi ‘Ulum al-Qur`an. Jakarta: Darul Qutub Islamiyah.
Ø  Asy-Syarqawi, Abdurrahman, 2000. Riwayat Sembilan Imam Fiqh. Bandung: Pustaka Hidayah.
Ø  Az Zuhaili, Wahbah. 1989. Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu. Damaskus: Dar Al Fikr.
Ø  Bakry, Sidi Nazar. 2003. Fikih dan Ushul Fikih. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ø  Baqir Ash-Shadr dan Murthadha Muthahari. 1993. Pengantar Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Ø  Djazuli. 2010. Ilmu Fikih. Jakarta: Kencana.
Ø  Gusmian, Islah. 2002. Khazanah Tafsir Indonesia. Yogyakarta: LKiS.
Ø  Hanafi, Hasan. 2007. Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat, Jakarta: Nawesea Press.
Ø  Hasan, Muhammad Ali, 1997. Perbandingan Mazhab Fikih. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ø  Izzan, Ahmad. 2011. Metodologi Ilmu Tafsir. Bandung: Tafakur.
Ø  Makhluf, Hasanain Muhammad.1993. Kalimat Al Quran Tafsirun wa Bayan. Beirut: Al maktab Al Islami.
Ø  Mubarok, Jaih. 2002.  Kaidah Fikih, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ø  Mughniyah, Muhammad Jawad. 2013. Fikih Lima Mazhab. Jakarta: Penerbit Lentera.
Ø  Muhammad, Abu Walid. 1989. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Beirut: Dar Al-Jiil.
Ø  Mustaqin, Abdul. 2012. Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an. Yogyakarta: Adab Press.
Ø  Muthahari, Murthadha. 2012. Tafsir Holistik. Jakarta: Citra.
Ø  Muthahhari, Murthadha. 2003. Pengantar Ilmu-Ilmu Islam. Jakarta: Pustaka Zahra.
Ø  Qardawi, Yusuf. 2003. Min Hadyi Al Islam. Kairo: Dar Al Qolam.
Ø  Qardawi, Yusuf. 2005. Fikih Prioritas Sebuah Kajian Baru, Jakarta: Robbani Press.
Ø  Shihab, Muhammad Quraish. 2002. Tafsir al-Mishbah. Vol 3. Jakarta: Lentera Hati.
Ø  Shihab, Muhammad Quraish. 2007. Sunnah-Syiah Berjabatan Tangan Mungkinkah! Mungkinkah?. Jakarta: Lentera Hati.
Ø  Shihab, Muhammad Quraish. 2010. Al-Quran dan Maknanya. Jakarta: Lentera Hati.
Ø  Shihab, Umar. 2005. Kontekstualitas Al-Quran. Jakarta: Penamadani.
Ø  Suma, Muhammad Amin. 2013. Ulumul Quran. Jakarta: Rajawali Pers
Ø  Tim Ahlulbait Indonesia. 2014. Syiah Menurut Syiah. Jakarta: DPP ABI.



[1] Jaih Mubarok, Kaidah Fikih, hal. 13
[2] Anggota IKAPI, Khazanah Tafsir Indonesia, hal 39
[3] Djazuli, Ilmu Fikih, hal 47
[4] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, hal. 199
[5] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, hal 187
[6] Muhammad Ali ash-Shabuni, At-tibyan fi ‘Ulum al-Qur`an, hal. 65
[7] Murthadha Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, hal 51
[8] Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran, hal 399
[9] Anshori, Ulumul Quran, hal 220
[10] Abdul Mustaqin, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, hal. 117
[11] Abdul Mustaqin, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, hal. 116
[12] Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, hal muqadimah
[13] Tim Ahlulbait Indonesia, Syiah Menurut Syiah, hal iii
[14] Abdul Mustaqin, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, hal. 117
[15] Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Quran, hal 81
[16] Abu Walid Muhammad, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, hal 78
[17]Hasanain Muhammad Makhluf, Al Maktab Al Islami, hal 348
[18] Abdul Mustaqin, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, hal.
[19] Ibid, hal 118
[20] Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, hal 23
[21] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol 3, hal 36
[22] Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, hal 24
[23] Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islami, vol. 7 hal. 798-806
[24] Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer, hal. 249
[25] As Shobuni, Mukhtashor Ibnu Katsir, vol. 1 hal. 369
[26] Abdurrahman Asy-Syarqawi, Riwayat Sembilan Imam Fiqh, hal 217
[27] Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fikih, hal 188
[28] Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, hal 466
[29] Sidi Nazar Bakry, Fikih dan Ushul Fikih, hal. 231
[30] Baqir Ash-Shadr, Pengantar Ushul Fikih, hal 77
[31] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2011), cetakan ketiga, hal. 200.
[32] Hasan Hanafi, Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat, hal 96
[33] Muhammad Ibnu Rusyd, Analisa Fikih Para Mujtahid, hal. 76
[34] Jaiz Mubarok, Kaidah Fikih, hal. 66
[35] Murthadha Muthahari, Tafsir Holistik, hal 147
[36] Muhammad Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Berjabatan Tangan Mungkinkah! Mungkinkah?, hal 258
[37] Yusuf Qardawi, Fikih Prioritas, hal 241
[38] Muhammad Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Berjabatan Tangan Mungkinkah! Mungkinkah?,  hal. 257

Tidak ada komentar:

Posting Komentar