ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOÏm§9$#
A.
Mukaddimah
Alat bantu dalam memahami al-Quran lebih dalam, dikenal dengan
istilah tafsir. Dalam hal ini tentunya dilakukan oleh mufasir yang mempunyai
kapasitas dibidang tafsir, serta mufasir itu tidak menyatakan hasil tafsirannya
itu paling benar.
Al-Qur’an diturunkan Allah swt.
kepada umat manusia dijadikan sebagai hudan, bayyinah dan furqan. Al-Qur’an selalu dijadikan sebagai
pedoman dalam setiap aspek kehidupan dan al-Qur’an merupakan kitab suci umat
Islam.
Agar fungsi al-Qur’an tersebut dapat terwujud, maka kita harus
menemukan
makna firman Allah swt saat menafsirkan al-Qur’an. al-Qur’an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak.
makna firman Allah swt saat menafsirkan al-Qur’an. al-Qur’an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak.
Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk
diinterpretasi), baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi
tunggal.[1]
Alat bantu dalam memahami al-Quran lebih dalam, dikenal dengan
istilah tafsir. Dalam hal ini tentunya dilakukan oleh mufasir yang mempunyai
kapasitas dibidang tafsir, serta mufasir itu tidak menyatakan hasil tafsirannya
itu paling benar.[2]
Sepanjang peradaban pemikiran umat Islam, tentunya tidak sedikit
kitab-kitab tafsir yang mencoba memberikan pemahaman kepada kaum muslimin,
khususnya kaum yang belum mumpuni untuk memahami al-Quran secara baik dan
komprehensif.
Dalam kaidah tafsir, banyak sekali corak-coraknya. Ada corak tafsir
ilmi, falsafi, akhlaqi, tarbawi dan tafsir fikih. Namun, pada makalah ini akan
lebih spesifik membahas tentang apa itu tafsir fikih.
Karena fikih ini banyak sekali pendapat-pendapat yang variatif,
maka akan disinggung juga pengaruh tafsir fikih terhadap perkembangan keilmuan
dan keberagaman.
B.
Corak Tafsir Fikih
1.
Pengertian Corak Tafsir Fikih
Dalam suatu pendekatan (ijmali, tahlili ,
muqarrin), sebuah corak penafsiran tentu memiliki pengaruh terhadap objek
materialnya. Dengan hal inilah sebenarnya tafsir mempunyai sebuah keragaman,
sehingga ayat al-qur’an seolah memiliki banyak wajah.[3]
Corak dalam literatur tafsir identik dengan
kata laun , yang artinya warna. Jadi corak berarti nuansa atau warna
khusus yang mewarnai tafsir.[4]
Tafsir sendiri sangat bergantung dengan pelakunya (mufasir), sehingga
penaafsiran bersifat relativ dan tentatif.[5]
Tafsir sendiri adalah ilmu yang digunakan
untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, untuk
mengetahui penjelasan makna-makannya serta hukum-hukum dan hikmah yang
terkandung di dalamnya.[6] Sedangkan yang dimaksud dengan fikih (yurisprudensi)
adalah pemahaman mendalam tentang hukum-hukum Islam, yang mengarah pada
diwajibkan (wajib), dilarang (haram), disukai (mustahab),
dibenci (makruh), dan dibolehkan (mubah).[7]
Kelima hukum ini diistilahkan sebagai ahkam khamsah.
Pengertian dari tafsir fikih sendiri ialah
tafsir yang lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam al-Quran. Oleh sebab
itu, corak tafsir ini biasa juga dikenal dengan corak tafsir ahkam.[8]
Penulis lain memaknai corak tafsir adalah mufasir yang mengarah pada bagaimana
melakukan istinbath hukum syar’i terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum
syar’i yang lima.[9]
Dari definisi di atas, nampaknya memiliki
titik temu pada term ayat hukum (syari). Ayat-ayat hukum inilah yang
ditafsirkan oleh mufasir dengan tujuan dapat memberikan pemahaman kepada umat
Islam.
2.
Awal Munculnya Penafsiran Fikih
Corak tafsir fikih secara historis sudah
berkembang sejak zaman nabi Muhammad saw. sendiri, permasalahan yang muncul
dalam perkembangannya hanya seputar metodologis saja. Semakin ke depan,
metodologi yang digunakan semakin kompleks.[10] Walaupun
terlihat kompleks dalam metodologi ataupun permasalahan kekinian yang muncul,
maka itu menunjukan perkembangan peradaban khususnya pada bidang fikih.
Sebelum pada pembahasan yang lebih dalam
lagi, berikut adalah sejarah dimana munculnya penafsiran-penafsiran tentang
hukum yang ada dalam al-Quran, sejak masa Rasulullah sampai pada Imam Mazhab
Fikih.
a.
Masa Rasulullah saw. sampai wafatnya
Pada masa Rasulullah saw. umat Islam dapat
memahami isi kandungan al-Qur’an baik yang berkenaan dengan akidah maupun
syariah secara tekstual, sesuai dengan bangsa Arab saat itu. Karena apabila
mereka mendapati hal-hal yang kurang jelas, mereka langsung datang kepada
Rasulullah saw. untuk menanyakan penjelasannya, karena Rasulullah sebagai
referensi dan penafsir pertama terhadap al-Qur’an. Oleh karenanya, pada masa
itu, penafsiran al-Qur’an tidak mengalami kesulitan, sebab disamping Rasulullah
masih ada, juga masalah yang dihadapi para sahabat belum terlalu kompleks.
Namun, setelah Rasulullah berpulang ke
rahmatullah dan Islam mulai berkembang ke luar jazirah Arab, mulailah
bermunculan banyak kasus dan peristiwa dikalangan umat Islam yang harus dengan
segera menuntut pemecahan hukumnya secara benar dan akurat. Langkah pertama
yang mereka tempuh adalah meneliti dan mencaari tahu di dalam al-Qur’an. Jika
mereka menemukan jawaban di dalamnya, dengan segera mereka menerapkannya. Bila
tidak, mereka mengalihkan penelitiannya kepada sunnah Rasulullah. Namun apabila
mereka tidak menemukannya jawabannya, mereka mulai berijtihad dengan ra’yu-nya,
baik dilakukan secara individual maupun secara kolektif, dengan tetap berpegang
kepada prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Salah satu ciri yang patut dipuji pada
periode ini dan berhak mendapat acungan jempol serta dapat dijadikan contoh,
adalah sikap sportif dan jiwa besar mereka dalam menerima dan menghargai
pendapat dan hasil ijtihad orang lain, apabila pada suatu saat hasil ijtihadnya
itu dirasa kurang tepat dan ternyata ada hasil ijtihad orang lain yang lebih
baik, maka dengan sportif dan lapang dada mereka menarik pendapatnya itu dan
mengambil pendapat/ hasil ijtihad orang lain.[11]
Lapak tilas sejarah pada masa ini,
masalah-masalah hukum masih bisa ditanyakan langsung kepada Nabi maupun
sahabat-sahabat yang mumpuni dalam keilmuannya. Dengan demikian kaum muslimin
dengan mudah mendapatkan jawaban atas masalahnya tersebut.
b.
Masa Imam-Imam Madzhab
Periode ini ditandai dengan lahirnya
imam-imam madzhab, terutama madzhab yang lima yaitu Imam Ja’far (80-148 H),
Imam Abu Hanifah (80-179 H), Imam Malik bin Anas (93-179 H), Imam Syafi’i
(150-204 H), Imam Ahmad Hambali (164-241 H).[12] Pada masa ini, Islam telah berkembang dan
tersebar sampai ke Asia bahkan Afrika. Oleh karena itu, sudah barang tentu
banyak kasus dan permasalahan yang bermunculan dikalangan umat Islam menuntut
ketetapan hukumnya. Dalam menyelesaikan kasus-kasus tersebut, para ulama
senantiasa berpedoman kepada teks-teks yang terdapat di dalam al-Qur’an dan
Sunnah. Namun, apabila mereka tidak menemukannya, mereka lalu berijtihad dengan
menggunakan metodologi istimbath al-ahkam masing-masing.
Dalam upaya penalaran (ijtihad) tentang hukum
dari suatu kasus, mereka kadang-kadang sepakat karena sepaham, tetapi tidak
jarang mereka berselisih pendapat.[13] Perselisihan itu sering disebabkan oleh
perbedaan metode istinbath yang mereka gunakan. Namun, dari hal yang sangat
menarik pada masa ini adalah bahwa meskipun mereka berbeda pendapat, mereka
tidak pernah fanatik dan egois. Mereka senantiasa merindukan kebenaran dan
terus mengadakan penelitian-penelitian. Mereka tidak pernah merasa kalah atau
rendah, tetapi justru mereka menumbuhkan jiwa besar dan sikap sportif. Mereka
tidak pernah menganggap remeh atau melecehkan pendapat yang lainnya, bahkan
pada saat itu dikenal semboyan “madzhabku benar tapi mengandung kemungkinan salah,
sedang madzhab selainku salah, tetapi mengandung kemungkinan benar.”Mereka tidak pernah mengharapkan apalagi
menganjurkan umat untuk mengikuti pendapat dan hasil ijtihad mereka. Meereka
justru mendorong umat untuk kembali dan mendalami al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
saw.[14]
Dengan demikian, munculnya
tafsir fikih ini dilatar belakangi oleh dua faktor. Antara lain
faktor internal dan eksternal.[15]
1.
Faktor Internal
Terdapat ayat-ayat Al-Qur’an
yang bernuansa hukum (ayat ahkam) seperti ayat tentang sholat, puasa,haji,
hukum mawaris dan sebagainya.
2.
Faktor Eksternal
Munculnya berbagai persoalan
baru di kalangan umat Islam yang menuntut adanya solusi yang berdasarkan
Al-Qur’an dan al-hadits. Sehingga hal ini menuntut para mufassir yang memiliki
background dalam bidang fikih untuk mencoba mengistinbath ahkam dari ayat-ayat
al-Qur’an secara rinci.
3.
Periode Taqlid dan Fanatisme Madzhab
Periode ini dikenal dengan periode
pembelaan madzhab yang dianut. Pada masa ini, fanatisme madzhab sedemikian
tinggi sehingga masing-masing penganut madzhab tidak mengenal toleransi atau
tenggang rasa terhadap madzhab lain diluar yang dianutnya. Masing-masing
memandang pendapat imam madzhabnya bagaikan nash syara’ yang paten dan wajib
diikuti.
Penalaran yang dilalkukan para muqollid
terhadap nash-nash syara’ bertujuan hanya semata-mata untuk membela pendapat
imam madzhabnya, bahkan lebih jauh mereka malah melemahkan madzhab-madzhab
lain. Apabila mereka menemukan nash syara’yang kelihatannya paradok dengan
pendapat imam madzhabnya, maka mereka berusaha secara maksimal untuk
menakwilkan nash tersebut agar sejalan dengan pendapat imam mereka. Apabila
nash tersebut sulit ditakwil, mereka beralih kepada
teknik nasikh-mansukh atau teknik takhsishyang tujuannya tiada
lain, kecuali agar nash tersebut sejalan dengan madzhab imam mereka, meskipun
teknik tersebut terlihat agak menyimpang.
Pola diatas pernah ditemukan oleh Al-Khurki
(w.340 H), salah seorang pengikut Abu Hanifah, yang mengatakan,
كل آية او حديث يخالف ما عليه أصحابنا فهو مؤول او منسوخ
Artinya: “Bila kami mendapatkan ayat-ayat Al-Qur’an
atau Hadits Rasulullah yang kelihatannya bertentangan dengan madzhab kami, maka
nash tersebut kami takwilkan atau kami pandang sebagai mansukh. (Al-Subkhi
dan Al-Sayis: 1936: 281)[16]
Fenomena fanatik madzhab sangat nyata terpampang
tak terelakkan, baik dalam lembaran kitab madzhab klasik dan kontemporer maupun
dalam fakta kehidupan. Muatannya sesak dengan saling tuding-menuding,
menghujat, dan mencela satu sama lain sehingga memantapkan kita semua bahwa
klaim mereka selama ini “semua madzhab adalah benar” hanyalah omong
kosong belaka yang tidak ada buktinya.
Fanatisme memunculkan berbagai dampak
negatif yang sangat berbahaya bagi pribadi secara khusus dan masyarakat secara
umum. Demi kewaspadaan kita semua agar tidak terjerat dalam belenggunya, akan
kami paparkan beberapa dampak tersebut:[17]
a.
Memejamkan mata dari argumen yang kuat dan
berpegang dengan argumen yang rapuh.
b.
Mementahkan dalil shahih karena bertentangan
dengan madzhab.
c.
Menyulut api perselisihan dan permusuhan
d.
Menolak kebenaran sekalipun sudah jelas
hujjahnya
e.
Mempermainkan dalil demi membela madzhabnya.
f.
Merubah nash demi kepentingan madzhab.
g.
Memalsukan hadits demi menjunjung madzhab.
h.
Mewajibkan taklid kepada seorang imam
madzhab.
4.
Karakterisitik Tafsir Fiqih
Menurut ulama, tafsir fikih mempunyai
beberapa ciri yang berbeda dengan tafsir-tafsir lainnya. Karakeristik tersebut
bisa dilihat dari sisi metodologis ataupun produk penafsiranya.
Secara metodologis, tafsir fikih
menggunakan metode bira’yi (adanya ijtihad) dan diuraikan secara tahlili.
Tahlili disini digunakan karena banyaknya analisa baik secara kebahasaan
ataupun secara permasalahan yang dihadapi sangat kompleks.[18] Adapun secara produk, tafsir fikih secara
substansial memuat ayat hukum dan secara fungsional diperlukan dalam masalah
ibadah atau hukum dalam kehidupan manusia.[19] Sisi
metodologis maupun produk, tentunya memiliki peran yang penting dalam memahami
sebuah hukum dalam Islam.
5.
Pengaruh Perbedaan Madzhab terhadap Penafsiran
Kelahiran corak tafsir fikih merupakan
implikasi dari adanya para ulama yang menekuni disiplin ilmu fikih. Di dalam
disiplin ilmu fikih terdapat beberapa ulama yang memilki cara istimbath hukum
yang berbeda. Hal ini karena mereka memiliki latar belakang keilmuan yang
berbeda, sehingga produk hukum yang dihasilkan juga memiliki perbedaan yang
akhirnya memunculkan beberapa madzhab fikih. Pada perkembangannya, para ulama
yang menekuni bidang fikih dari berbagai madzhab mencoba untuk melakuakn
istidlal hukum-hukum fikih dari ayat-ayat al-Qur’an. Hal itu dilakukan baik
untuk kepentingan mendukung teori-teori fikih, maupun untuk membela madzhab
fikih yang diikutinya.
Dengan demikian,
tafsir corak fikih dibangun atas wawasan penafsirnya dalam bidang fikih, atau
dengan bahasa lain tafsir fikih berada di bawah pengaruh ilmu fikih. Hal ini
karena fikih telah menjadi minat dasar penafsirnya sebelum melakukan
penafsiran.[9] Sehingga
dengan adanya latar belakang ilmu fikih dari berbagai madzhab, maka hasil
penafsiran yang telah dilakukan juga memiliki perbedaan.
6.
Contoh Tafsir Fikih
Ayat ahkam yang perlu penafsiran tentunya tidak sedikit. Namun dalam
hal ini, perlu disampaikan beberapa contoh ayatnya yang akan menjadi gambaran
dasar terhadap pemahaman terhadap tafsir fikih.
a.
Tafsir QS. Al-Maidah ayat 6, Cara Berwudhu
$pkr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
#sÎ)
óOçFôJè%
n<Î)
Ío4qn=¢Á9$#
(#qè=Å¡øî$$sù
öNä3ydqã_ãr
öNä3tÏ÷r&ur
n<Î)
È,Ïù#tyJø9$#
(#qßs|¡øB$#ur
öNä3ÅrâäãÎ/
öNà6n=ã_ör&ur
n<Î)
Èû÷üt6÷ès3ø9$#
4
.....
Artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki”...
Asbabun nuzul ayat ini, dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Bukhari yang isinya antara lain: bahwa dalam suatu
perjalanan, kalung Aisyah yang hilang di tempat yang bernama: Baida, sehingga
terpaksa rombongan Nabi bermalam di tempat itu. Pada waktu subuh Rasulullah
bangun lalu mencari air untuk berwudu tetapi beliau tidak mendapat air, maka
turunlah ayat ini.
Adapun penjelasannya, kata wamsahuu bi ruusikum (sapulah
kepalamu), 5 imam fikih menafsirkannya sebagai berikut; Imam Hambali mewajibkan
semua bagian kepala dan juga dua telinga. Imam Maliki mewajibkan mengusap semua
bagian kepala (adapun telinga tidak wajib). Imam Hanafi menafsirkan wajib
mengusap seperempat kepala, tetapi cukup dengan memasukan kepala ke dalam air
atau menuangkan air ke atas kepalanya. Imam Syafi’i mengatakan wajib mengusap
sebagian dari depan kepala, sekalipun sedikit. Tetapi cukup dengan membasahi
atau menyiram, sebagai pengganti dari mengusap. Imam Ja’fari mengatakan bahwa
wajib mengusap sebagian dari depan kepala, dan cukup dengan sangat sedikit
sepanjang bisa dinamakan mengusap kepala, tetapi tidak boleh membasahi dan
tidak boleh pula menyiramnya.[20]
Upaya penafsiran yang dilakukan oleh lima mazhab tersebut, sepakat
dalam penentuan wajibnya mengusap kepala. Yang menjadi perbedaan hanyalah kadar
air dan batasan kepalanya.
Yang menjadi penyebab perbedaan itu ialah pandangan mengenai huruf ba’
(baca bi),[21] yang diinterpretasikan oleh imam lima mazhab tersebut.
Dari ayat ini juga muncul pertanyaan, bagaimana hukum tertibnya. Terlebih
dahulu muka - kedua tangan – kepala - dua kaki, itu wajib sekaligus syarat
sahnya wudhu menurut Imam Ja’far, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali. Lain hal
dengan penafsiran Imam Hanafi dan Imam Maliki yakni tidak wajib tertib, dan
boleh dimulai dari dua kaki dan berakhir di muka.[22]
Untuk satu ayat hukum wudhu, penafsiran Imam Fikih ini nampaknya begitu
variatif, yang tentunya diimbangi dengan argumentatif.
b.
Tafsir QS. An-Nisa ayat 20, Mahar
Berapa banyak mahar yang harus disiapkan untuk melakukan
pernikahan, dalam hal ini ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat QS.
An-Nisa ayat 20 berikut ini.
÷bÎ)ur ãN?ur& tA#yö7ÏGó$# 8l÷ry c%x6¨B 8l÷ry óOçF÷s?#uäur £`ßg1y÷nÎ) #Y$sÜZÏ% xsù (#räè{ù's? çm÷ZÏB $º«øx© 4 ...
Artinya: “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri
yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta
yang banyak, maka janganlah kamu mengambilnya kembali...”.
Mengenai asbabun nuzul ayat ini, Ada beberapa riwayat yang menjelaskan
tentang peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat ini.[23] Menurut riwayat Bukhori, Ibnu Abbas berkata: ”Dahulu, apabila
seseorang meninggal dunia, maka para walinya (keluarga pihak suami) akan
menguasai istrinya. Jika mereka berkehendak, mereka dapat menikahinya untuk
dirinya atau menikahkannya kepada orang lain atau tidak menikahkan kepada
siapapun. Mereka lebih berkuasa ketimbang keluarganya. Maka turunlah ayat ini
’Wahai orang-orang yang beriman tidak halal bagimu untuk mempusakai wanita
dengan cara paksa...”. ibnu Abbas juga berkata: ”Seorang laki-laki dahulu
mewariskan perempuan kerabatnya. Kadang ditahannya hingga mati atau ia harus
mengembalikan mahar yang pernah diterimanya. Maka Allah menjelaskan hukumnya”.
(Bahwa hal itu dilarang.) Ibnu Abbas juga berkata: ”Seseorang apabila meninggal
dunia dan meninggalkan seorang wanita, maka teman dekatnya (kerabat) akan
melemparkan bajunya kepadanya. Maka diapun dilarang berhubungan dengan manusia.
Apabila cantik, maka ia akan menikahinya, apabila buruk rupa maka akan ditahan/
ditawan hingga mati, maka ia akan menjadi ahli warisnya.” [24]
Berdasarkan sejarah juga, dari ayat inilah seorang wanita pernah
protes kepada Umar bin Khattab ra yang membuat kebijakan membatasi nilai mahar.
Suatu ketika Umar ra naik ke atas mimbarnya Rasulallah saw seraya berkata:
”Wahai manusia betapa mahalnya mahar yang kalian tetapkan bagi wanita! Padahal
Rasulallah saw dan para sahabatnya dahulu maharnya hanya sekitar 400 dirham
atau kurang (dalam riwayat lain 12 uqiyah). Seandainyanya banyaknya mahar
adalah bentuk taqwa kepada Allah atau kemuliaan, niscaya kalian tidak akan
mampu menandingi mereka. Aku beritahukan bahwa mahar seseorang untuk wanita
tidak boleh lebih dari 400 dirham”. Kemudian beliau turun dari atas mimbar.
Tiba-tiba seorang wanita bangsawan Quraisy protes seraya berkata: ”Wahai Amirul
mukminin, kamu melarang manusia untuk memberikan mahar lebih dari 400 dirham?”.
Umar menjawab: ”Ya”. Wanita itu berkata: ”Tidakkah apa yang Allah turunkan
dalam Al Qur’an?”. Umar bertanya: ”Apa itu?”. Wanita itu berkata: ”tidakkah
kamu mendengar firman Allah ”... dan kamu memberikan kepada kepada mereka
qinthor..”. Umar berkata: ”Ya Allah maafkanlah, semua manusia dapat lebih
mengerti dari pada Umar”. Kemudian beliau kembali ke mimbar dan berkata: ”Wahai
manusia tadi aku melarang kalian untuk memberikan mahar lebih dari 400 dirham.
Siapa yang hendak memberi hartanya sesuai dengan keinginannya silakan saja”.[25]
Ulama menjelaskan tentang tidak ada batasan
maksimal sebuah mahar. Namun bukan berarti ayat ini menganjurkan untuk
memahal-mahalkan mahar. Karena disamping ada sebuah riwayat hadits yang
menganjurkan untuk mempermudah mahar (di antaranya, riwayat Aisyah, Rasulullah
saw bersabda, bahwa sesunguhnya diantara keberkahan wanita adalah memudahkan
lamaran dan maharnya HR. al-Hakim, Ahamad dan al-Baihaqi),[26] juga ternyata memahalkan mahar sangat
berdampak negative dalam kehidupan sosial masyarakat. Tidak jarang Negara atau
daerah yang mempuyai tradisi memahalkan mahar akan dijumpai banyaknya pemuda yang tidak mampu
nikah, banyaknya perawan tua dan berbagai penyimpangan seksual.
Hal yang terbaik dalam masalah mahar adalah
jangan sampai masalah mahar menjadi penghalang seseorang untuk menikah, tetapi
disesuaikan kondisi ekonomi calon suami dan keridhoaan calon istri. Sebagaimana Rasulullah saw, suatu
saat menikahkan seorang pemuda terkadang hanya dengan hafalan al-Quran yang ia
miliki. Namun Rasulullah sendiri ketika menikahi Saiyyidah Khodijah, mahar yang
diberikan kepada istrinya adalah 20 ekor unta muda. Bahkan sumber lain
mejelaskan, selaian itu Rasulullah juga menambahkan emas 12.5 ons dari harta
pribadi.
Imam Fikih sepakat bahwa tidak ada batas maksimal mahar. Akan
tetapi, mereka berbeda penafsiran mengenai berapa batas minimalnya.
Imam Syafi’i, Imam Hambali, dan Imam Ja’far berpendapat bahwa tidak
juga ada batas minimal dalam mahar. Apapun yang dapat dijadikan harga dalam
jual beli boleh dijadikan mahar sekalipun hanya satu qirsy (pecahan mata
uang Mesir).
Menurut pendapat Imam Hanafi, batas jumlah minimal mahar yaitu
sepuluh dirham. Apabila ada akad nikah yang maharnya kurang dari sepuluh
dirham, maka akad tetap sah. Hanya saja wajib membayar kemudian agar genap
menjadi sepuluh dirham.
Dari perbedaan yang ada menurut empat imam mazhab diatas, Imam
Maliki mempunyai batas minimal yang juga berbeda. Menurutnya, batas jumlah
minimal mahar adalah tiga dirham. Jika akad dilakukan dengan mahar yang kurang
dari batas minimal tersebut, kemudian terjadi hubungan suami istri, maka suami
harus membayar tiga dirham. Tetapi bila belum melakukan hubungan suami
istri, suami boleh memilih antara
membayar tiga dirham (dengan melanjutkan perkawinan) atau mem-faskh akad,
lalu membayar separuh mahar yang juga disepakati oleh pengantin wanita.
Keberagaman pendapat ini, tentunya memiliki kadar maslahat yang
berbeda. Mana yang bisa diterima, silahkan diamalkan. Adapun pendapat yang
tidak bisa diterima, tentunya apresiasi harus tetap diberikan.
c.
Tafsir QS. Al-Baqarah ayat 228, Iddah
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 ...
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru’
Yang dimaksud dengan quru‘ adalah masa suci. Dalam
kitabnya, al-Muwattha’, Imam Malik meriwayatkan, dari
Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwasanya Hafshah binti Abdurrahman pindah (ke
rumah suaminya) ketika ia menjalani haid yang ketiga kalinya. Kemudian hal itu
disampaikan kepada Umrah binti Abdurrahman, maka ia pun berkata, “Urwah benar.”
Namun hal itu ditentang oleh beberapa orang, di mana mereka mengatakan,
sesungguhnya Allah Ta’ala telah berfirman dalam kitab-Nya, Î ثَلاَثَةَ قُرُوءٍ
Ï “Tiga kali quru’.” Lalu Aisyah menuturkan, “Kalian memang benar, tetapi
tahukah kalian apakah yang dimaksud dengan quru‘? Quru‘ adalah masa
suci.”
Imam Malik meriwayatkan, dari Ibnu Syihab, aku pernah mendengar Abu
Bakar bin Abdur Rahman mengatakan, “Aku tidak mengetahui para fuqaha’ kita
melainkan mereka mengatakan hal itu.” Yang dimaksudkan dengan hal itu adalah
ucapan Aisyah radhiallahu ‘anha. Lebih lanjut Imam Malik mengatakan,
“Pendapat Ibnu Umar itulah yang menjadi pendapat kami.”
Hal yang sama juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit,
Salim, al-Qasim, Urwah, Sulaiman bin Yasar, Abu Bakar bin Abdurrahman, Abban
bin Utsman, Atha’ bin Rabah, Qatadah, az-Zuhri, dan beberapa fuqaha’ lainnya.
Itu pula yang menjadi pendapat Imam Malik, Syafi’i, Dawud, Abu Tsaur, dan
sebuah riwayat dari Ahmad.[27]
Iddah tiga quru’,
hukumnya berlaku bagi wanita yang tidak hamil, usianya sudah mencapai 9
tahun, telah mengalami haidh dan
bukan menopause. Demikian kesepakatan semua imam mazhab fikih berkenaan
penecualian wanita yang mendapatkan iddah.
Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ja’far menginterpretasikan quru’
dengan masa suci (tidak haidh), sehingga apabila wanita dicerai pada
hari-hari terakhir menuju hari sucinya, maka masa tersebut dihitung sebagai
masa iddah, yang kemudian disempurnakan dengan dua masa suci sesudahnya.
Penafsiran mereka tersebut berbeda dengan Imam Hanafi dan Imam
Hambali. Menurutnya, jika wanita dicerai pada masa haidh, wanita itu
tetap harus melewati tiga kali masa haidh setelah suci dari waktu haidh
pada waktu ia ditalak.[28]
Pembahasan iddah ini tentunya masih banyak lagi, seperti
bagaimana iddah terhadap wanita yang suaminya wafat, wanita yang suaminya
hilang, bahkan wanita yang dicerai karena berzina dan hamil. Semuanya itu
mungkin akan menjadi diskusi yang khusus.
7.
Tokoh Tafsir Fikih dan Tafsirnya
a.
Madzhab Hanafi
1)
Ahkam Al-Quran, Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin
Salamah At-Thahawi Al-Hanafi (w. 321 H)
2)
Ahkam Al-Quran, Abu Al-Hasan Ali bin Musa bin Yazdad
Al-Hanafi (w. 350 H)
3)
Ahkam Al-Quran, Ahmad bin Ali Ar-Razi, lebih dikenal
dengan Al-Jasshash Al-Hanafi (w. 370 H)
4)
Talkhish Ahkam Al-Quran, Tahdzib Ahkam Al-Quran,
Jamauddin Mahmud bin Mas’ud, lebih dikenal dengan Ibnu Siraj Al-Hanafi (w. 770
H)
5)
At-Tafsirat Al-Ahmadiyah fi Bayan Al-Ahkam
As-Syar’iyyah, Ahmad bin Abi Sa’id bin Ubaidillah Al-Hanafi (w. 1130 H)
b.
Madzhab Maliki
1)
Ahkam Al-Quran, Abu Abdillah Muhammad bin Sahnun
Al-Qairuwani (w. 255 H)
2)
Ahkam Al-Quran, Al-Qadhi Abu Ishaq Isma’il bin Ishaq
bin Isma’il Al-Maliki (w. 282 H)
3)
Ahkam Al-Quran, Abu Al-Hakam Mundzir bin Sa’id bin
Abdillah Al-Maliki (w. 355 H)
4)
Ahkam Al-Quran, Abu Bakr Muhammad bin Abdillah, yang
dikenal dengan Ibnu Al-Arabi (w. 543 H)
5)
Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran, Abu Abdillah Muhammad bin
Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi (w. 671 H)
c.
Madzhab Syafi’i
1) Ahkam Al-Quran, Imam Syafi’i (w. 204)
2) Ahkam Al-Quran, Abu Tsaur Ibrahim bin
Khalid Al-Kalbi Al-Baghdadi As-Syafi’i (w. 240 H.)
3) Ahkam Al-Quran, Imaduddin Abu Al-Husain Ali
bin Muhammad At-Thabari, dikenal degan Al-Kiya Al-Harasi As-Syafi’i (w. 450 H)
4) Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil, Jalaluddin
As-Suyuthi As-Syafi’i (w. 911 H)
5) Ahkam Al-Kitab Al-Mubin, Ali bin Abdillah
bin Mahmud As-Syafi’i (w. 890 H)
d.
Madzhab Hanbali
1)
Ahkam Al-Quran, Abu Ya’la Muhammad bin Al-Husain bin
Muhammad bin Khalaf bin Farra’ Al-Hanbali (w. 458)
2)
Ahkam Ar-Ray bin Ahkam Al-Ay, Syamsuddin Muhammad bin
Abdirrahman As-Sha’igh Al-Hanbali (w. 776 H)
3)
Azhar Al-Fulah fi Ayah Qashr As-Shalah, Mar’i bin
Yusuf bin Abi Bakr Al-Maqdisi Al-Hanbali (w. 1033 H)[29]
e.
Mazhab Ja’fari
1)
Al-Jawahir
2)
Al-Lum’ah
3)
Al-Urwatul Qustha
4)
Furuul Kaffi
5)
Kandzul Irfan
6)
Malla Yadzuruhul Fakih
7)
Minhaj As-Shalihin
8)
Tahrirul Wasilah
9)
Tahzibul Ahkam
10) Wasilah An-Najah
Adapun kitab fikih yang juga menjadi rujukan kaum
muslimin, antara lain:
1.
Ahkamul Qur’an al-Jashash, karya Abu Bakr Ahmad bin Ali Ar-Razi al-Jashosh (305-370H/917-980M)
2.
Ahkamul Qur’an Ibn Al-‘Arabi, karya Abu Bakr Muhammad bin Abdillah (468-543H/1075-1148M)
3.
Al-Jami’ lil Ahkamil Qur’an wal Muhayyin lima Tadhammanahu Mina sunah wa
Ayyil Qur’an, karya Abi
Abdillah Muhammad al-Qurthubi (w. 671H/1272M)
4.
Tafsir Fathul Qadr, karya Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah as-Syaukani
(1173-1250H/1759-1839M)
5.
Tafsir al-Maraghi, karya Ahmad Musthafa al-Maraghi (1298-1373H-1881-1945M)
6.
Tafsir Ayatul Ahkam, karya Muhammad Ali as-Sayis, Dosen Univ. Al-Azhar
7.
Ahkamul Qur’an al-Kiya al-Harasi, karya al-Kiya al-Harasi (w. 405H/1058M)
8.
Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Fikih
a.
Kelebihan Tafsir Fikih
Meskipun peluang terjadinya perbedaan
pendapat dalam melakukan penafsiran al-Qur’an lewat pendekatan fikih sangatlah
besar, namun penafsiran lewat pendekatan ini memiliki bebarapa kelebihan,
diantaranya:
1)
Memberikan kejelasan terhadap umat Islam akan
kandungan hukum syari’at yang terdapat dalam al-Qur’an, hal ini menjadi titik
tolak pemahaman umat bahwa sesungguhnya al-Qur’an tidak hanya menjelaskan
tentang aspek yang bersifat transenden dan metafisik (aqidah), akan tetapi ia
juga menjelaskan tentang aspek-aspek syari’ah, disisi lain juga memberitahukan
bahwa syari’ah atau hukum bukan semata-mata merupakan produk fuqaha’ akan
tetapi telah menjadi bagian dari nash-nash al-Qur’an bahkan lebih dominan yang
mampu mengatur tatanan hidup manusia baik individu maupun sosial.
2)
Upaya untuk memberikan kesepakatan praktis yang
bertujuan untuk mempermudah manusia dalam mengaplikasikan seluruh bentuk
hukum-hukum Allah yang termaktub di dalam al-Qur’an setelah terjebak ke dalam
perbedaan mazhab dogmatis serius yang bersifat teoritis.
3)
Tafsir al-Qur’an dengan pendekatan fikih meskipun
memberikan peluang terjadinya perbedaan pemahaman terhadap teks-teks Quraniyyah
tetap memberikan sumbangsih pemikiran bahwa sesungguhnya seluruh bentuk aturan
dan hukum dalam kehidupan baik individu maupun sosial tetap harus tunduk
kepada al-Musyarri’ al-Awwal (Allah) melalui kalam-Nya yang
mulia kemudian kepada pembawa wahyu dan risalah yang kemudian dikenal
sebagai al-musyarri’ ats-Tsany ba’da Allah (Rasulullah Saw)
melalui Sunnah beliau demi kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di
akhirat.
4)
Tafsir fikih berusaha untuk membumikan al-Qur’an lewat
pemahaman ayat-ayat qauliyah kepada ayat-ayat kauniyyah guna meberikan
penyadaran, pemberdayaan dan advokasi terhadap permasalahan kehidupan manusia.
5)
Tafsir fikih kendatipun beragam tetap memberikan
kekayaan bagi khazanah intelektual muslim dunia, sebab tanpa adanya penafsiran
al-Qur’an dalam bentuk ini, maka umat Islam secara khusus dan manusia secara
umum akan kehilangan akar hukum dan perundang-undangan yang sesungguhnya.
b.
Kelemahan Tafsir Fikih
Hasil olah pikir manusia biasa tidak akan
pernah lepas dari berbagai macam bentuk kekurangan dan kelemahan, sebab sudah
menjadi bagian dari suratan takdir bahwa manusia adalah makhluk yang lemah bisa
benar dan biasa salah. Demikian juga adanya dengan penafsiran al-Qur’an yang
meskipun landasan penafsirannya adalah untuk menemukan saripatih dari perkataan
Yang Maha Benar secara mutlak namun dilakukan oleh manusia, maka pasti akan
terdapat kelemahan. Dan diantara kelemahan penafsiran al-Qur’an melalui
pendekatan fikih adalah:
6)
Tafsir fikih cenderung terjebak pada fanatik mazhaby
sehingga memunculkan sikap ortodoksi, pembelaan dan pembenaran terhadap madzhab
tertentu dan menafikan keabsahan mazhab-mazhab lainnya. Sikap ini terwariskan
kepada berpulu-puluh generasi hingga saat ini.
7)
Tafsir fikih melakukan reduksi pada satu aspek
tertentu dari al-Qur’an (penafsiran parsial) padahal al-Qur’an meliputi akidah
dan syariah, konsep dan sistem, teori dan praktek yang membutuhkan
pemahaman dan penafsiran secara universal.
8)
Tafsir fikih lebih mengedepankan penafsiran al-Qur’an
dengan menghubungkannya pada konteks sosial tertentu dan cenderung mengabaikan
nilai-nilai universal hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an (rahmatan
li al-’alamin). Sebab tidak semua bentuk permasalahan yang telah terjawab
pada masa lampau masih berlaku pada masa sekarang, sehingga dibutuhkan
penafsiran terhadap ayat-ayat hukum al-Qur’an yang sesuai dengan kebutuhan
zaman saat ini tanpa menafikan kerja-kerja yang bersifat analogi terhadap masa
lampau dan berusaha untuk tidak terjebak pada perbedaan teoritis mazhaby.[32]
Dengan demikian, adanya keberatan
dari beberapa pihak mengenai keberadaan tafsir fikih, yakni apabila al-Quran
selalu dipandang sebagai kitab suci yang berisi ketentuan perundang-undangan
maka akan melahirkan suatu pemisahan yang mekanis antara ayat-ayat yang berisi
ketentuan hukum yang tidak ada.
ayat-ayat hukum selalu didekati secara atomistis dan harfiah yang akan
menimbulkan kebingungan dalam melihat sebuah proses tahapan ajaran al-Quran.[33]
C.
Pengaruhnya Terhadap Khazanah Keilmuan dan Keberagaman
Pada fikihisme setiap madzhab, tentu
mempunyai epistimologi terendiri dalam menafsirkan al-Qur’an dengan corak
fiqih. Dalam tradisi arab dikenal tiga istilah epistimologi, yaitu bayani,
burhani dan irfani. Yang kadang menjadi perdebatan adalah antara bayani dan
burhani atau antara tekstualis dan rasionalis. Dalam fiqih, hal ini tentu
tidaklah sama, kecenderungan perbedaan dalam fiqih biasanya hanya sebatas
perbedaan kondisi atau kualitas seorang fakih tersebut. Sebagaimana diketahui
bahwa fikih itu kondisional, artinya pendapat akan disesuaikan dengan kondisi
yang dihadapi.[34]
Perbedaan dalam fiqih disini secara
universal bisa digolongkan ke dalam dua aspek, adanya perbedaan waktu, misalkan
antara dulu dengan sekarang. Kedua, adanya pendekatan yang berbeda.[35] Dua faktor inilah yang menjadi perbedaan
pandangan hingga menghasilakn pemahaman yang berbeda. Dan sebagai suatu
konsekuensi, akibat adanya dua hal tersebut, penafsiran terhadap al-Qur’an
banyak memiliki keragaman.
Dengan memperhatikan faktor atau
aspek-aspek yang terjadi pada masa ulama fikih tersebut, tentunya banyak hikmah
yang dapat dipetik untuk memperkaya khazanah keilmuan masa kini.
Syaikh Muhammad al-Ghozali memuji usulan
yang diberikan oleh Syaikh Muhammad ‘Isa Abbasy tentang perlunya membentuk tim
untuk melakukan analisis terhadap tafsir (pandangan) ulama-ulama terdahulu
mengenai hukum. Sehingga, dapat mengambil hikmah yang diantaranya adalah:
1.
Dapat mengetahui hukum yang disepakati oleh seluruh
mazhab ulama fikih tersebut.
2.
Menjadi bahan tambahan ilmiah, selama memiliki dasar
syariat yang jelas.
3.
Dalam masalah-masalah yang kontradiktif antara
penafsiran yang satu dengan yang lain, maka dapat dilakukan studi mendalam
menyangkut dalil-dalilnya, dan mengambil yang kuat tanpa mempertimbangkan
mazhabnya.
4.
Penafsiran-penafsiran yang kuat, atau kekuatan
argumentasinya berimbang satu dengan yang lain, maka dapat memilih pendapat
yang mendatangkan kemaslahatan.
Dengan itu semua, kaum muslimin semakin
cerdas dalam mendudukkan sebuah hukum.
Secara garis besar, ulama fikih terbagi
menjadi dua golongan yakni Sunni dan Syiah, keduanya telah memberikan kebebasan
kepada kaum muslimin untuk memilih mana penafsiran yang sesuai dengan
persoalannya. Selama penafsiran itu tidak bertentangan dengan al-Quran dan
Sunnah.
Kendati berbeda, perbedaan penafsiran
ayat-ayat hukum ini, hanyalah berada pada lingkaran furuiyyah.[37] Apabila tidak mempunya ilmu yang mumpuni,
terlebih lagi merasa diri paling benar, intoleransi, maka akan memberikan pengaruh
yang dahsyat terhadap subjeknya. Dengan demikian, mazhab yang satu akan dengan
mudah menyalahkan, menyesatkan bahkan mengkafirkan mazhab selainnya.
Perbedaan tafsir fikih ini memang cukup
berbahaya apabila disertai dengan fanatisme buta, sedang fanatisme buta tidak
hanya menimbulkan perpecahan, tetapi juga keterbelakangan keilmuan.[38]
Pada akhirnya, tetaplah menjadi orang yang
cerdas, kritis, pelajari semua khazanah keilmuan khususnya tafsir fikih, maka
Islam semakin berkembang dengan sendirinya.
D.
Kesimpulan
Tafsir fikih merupakan tafsir yang lebih
berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam al-Quran. kemudian tafsir ini juga
biasa dikenal dengan corak tafsir ahkam.
Awal munculnya penafsiran fikih sudah ada
sejak zaman Rasulullah saw. yang kemudian lebih berkembang pesat pada masa lima
imam mazhab besar yaitu Imam Ja’far as-Shadiq, Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin
nas, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Hambali. Pada masa itulah khazanah keilmuan
Islam cukup diperhitungkan dari belan bumi Asia sampai belahan Afrika.
Karakteristik tafsir fikih bisa dilihat
dari sisi metodologis dan sisi produk atas ijtihad yang dilakukan oleh ulama
fikih.
Sebagai contoh ulama mampu menafsirkan
ayat-ayat al-Quran mengenai beberapa topik berikut, seperti cara berwudu, mahar
dan masa iddah. Pada masing-masih permasalahan mengenai topik ini, lima
imam mazhab ada yang sama penafsiran hukumnya dan ada pula yang berbeda.
Perbedaannya itu pun, masing-masing mempunyai hujjah yang kuat.
Corak tafsir fikih memiliki, sisi positif
dan negatif. Sisi negatif (kekurangan) maupun positif (kelebihan), tentunya
harus diberikan ruang untuk dikritisi lebih jauh lagi.
Akibat perbedaan pendapat, secara tidak
langsung telah memberikan khazanah keilmuan yang lebih terhadap peradaban umat
Islam. Namun, perbedaan itu akan menjadi sebuah awal kemunduran, apabila para
pengkaji tafsir fikih tersebut tidak berada pada fanatisme buta.
Kecerdasan dan sifat keritis yang
konstruktiflah yang akan membuat orang khazanah keilmuan Islam akan terus
diperhitungkan.
Bagian kesimpulan ini hanyalah dinamika
sebuah makalah, yang memang dituntut untuk hal itu. Adapaun kesimpulan yang
sesungguhnya ada pada anda sekalian sebagai seorang akademisi militan.
Wallahu’alam .....
KRITIK DAN SARAN
Pemakalah sadar sepenuhnya, bahwa apa yang terkandung dalam tulisan
ini, tentunya jauh dari kesempurnaan. Saling mengingatkan itulah yang sangat
pemakalah harapkan.
Kritikan yang konstruktif, akan membuat penulis terus berfikir
untuk terus maju kedepan guna menyongsong keilmuan yang lebih dalam dan
komprehensif.
Adapun saran ataupun menginginkan diskusi yang lebih panjang,
mungkin dapat dikirim melalui email berikut ini. suprihatinalghozali@yahoo.co.id
Tetap semangat untuk menyongsong keilmuan Islam yang lebih
komparatif dan menguras otak.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Aibak, Kutbuddin. 2009. Kajian Fiqh Kontemporer. Yogyakarta:
Teras.
Ø Anggota IKAPI, 2013. Khazanah Tafsir Indonesia. Yogyakarta: LKiS.
Ø Anshori. 2013. Ulumul Quran.
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Ø As Shobuni, Muhammad Ali. 1981. Mukhtashor Ibnu Katsir.
Beirut: Dar Al Quran Al Karim.
Ø As Shobuni, Muhammad Ali. 1987. At-tibyan fi ‘Ulum al-Qur`an. Beirut: Dar Al Quran Al Karim.
Ø Ash-Shabuni, Muhammad Ali. 2003. At-tibyan
fi ‘Ulum al-Qur`an. Jakarta: Darul Qutub Islamiyah.
Ø Asy-Syarqawi, Abdurrahman, 2000. Riwayat Sembilan Imam Fiqh.
Bandung: Pustaka Hidayah.
Ø Az Zuhaili, Wahbah. 1989. Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu.
Damaskus: Dar Al Fikr.
Ø Bakry, Sidi Nazar. 2003. Fikih dan Ushul Fikih. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Ø Baqir Ash-Shadr dan Murthadha Muthahari. 1993. Pengantar Ushul
Fikih. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Ø Djazuli. 2010. Ilmu Fikih. Jakarta: Kencana.
Ø Gusmian, Islah. 2002. Khazanah Tafsir Indonesia. Yogyakarta:
LKiS.
Ø Hanafi, Hasan. 2007. Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat,
Jakarta: Nawesea Press.
Ø Hasan, Muhammad Ali, 1997. Perbandingan Mazhab Fikih. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Ø Izzan, Ahmad. 2011. Metodologi Ilmu
Tafsir. Bandung: Tafakur.
Ø Makhluf, Hasanain Muhammad.1993. Kalimat Al Quran Tafsirun wa
Bayan. Beirut: Al maktab Al Islami.
Ø Mubarok, Jaih. 2002. Kaidah
Fikih, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ø Mughniyah, Muhammad Jawad. 2013. Fikih
Lima Mazhab. Jakarta: Penerbit Lentera.
Ø Muhammad, Abu Walid. 1989. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul
Muqtashid. Beirut: Dar Al-Jiil.
Ø Mustaqin, Abdul. 2012. Dinamika Sejarah
Tafsir al-Qur’an. Yogyakarta: Adab Press.
Ø Muthahari, Murthadha. 2012. Tafsir Holistik. Jakarta: Citra.
Ø Muthahhari, Murthadha. 2003. Pengantar
Ilmu-Ilmu Islam. Jakarta: Pustaka Zahra.
Ø Qardawi, Yusuf. 2003. Min Hadyi Al Islam. Kairo: Dar Al
Qolam.
Ø Qardawi, Yusuf. 2005. Fikih Prioritas Sebuah Kajian Baru,
Jakarta: Robbani Press.
Ø Shihab, Muhammad Quraish. 2002. Tafsir
al-Mishbah. Vol 3. Jakarta: Lentera Hati.
Ø Shihab, Muhammad Quraish. 2007. Sunnah-Syiah
Berjabatan Tangan Mungkinkah! Mungkinkah?. Jakarta: Lentera Hati.
Ø Shihab, Muhammad Quraish. 2010. Al-Quran dan Maknanya.
Jakarta: Lentera Hati.
Ø Shihab, Umar. 2005. Kontekstualitas Al-Quran. Jakarta:
Penamadani.
Ø Suma, Muhammad Amin. 2013. Ulumul Quran.
Jakarta: Rajawali Pers
Ø Tim Ahlulbait Indonesia. 2014. Syiah
Menurut Syiah. Jakarta: DPP ABI.
[1]
Jaih Mubarok, Kaidah
Fikih, hal. 13
[2]
Anggota IKAPI, Khazanah
Tafsir Indonesia, hal 39
[3]
Djazuli, Ilmu
Fikih, hal 47
[4] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, hal. 199
[5]
Islah Gusmian, Khazanah
Tafsir Indonesia, hal 187
[7] Murthadha Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, hal 51
[8] Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran, hal 399
[9] Anshori, Ulumul Quran, hal 220
[10] Abdul Mustaqin, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, hal. 117
[13] Tim Ahlulbait Indonesia, Syiah Menurut Syiah, hal iii
[14] Abdul Mustaqin, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, hal. 117
[15]
Umar Shihab, Kontekstualitas
Al-Quran, hal 81
[16]
Abu Walid
Muhammad, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, hal 78
[17]Hasanain
Muhammad Makhluf, Al Maktab Al Islami, hal 348
[18]
Abdul Mustaqin, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, hal.
[19] Ibid, hal 118
[20] Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, hal 23
[21] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol 3, hal 36
[22] Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, hal 24
[23]
Wahbah Az
Zuhaili, Al Fiqh Al Islami, vol. 7 hal. 798-806
[24]
Kutbuddin
Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer, hal. 249
[25]
As Shobuni, Mukhtashor
Ibnu Katsir, vol. 1 hal. 369
[26]
Abdurrahman Asy-Syarqawi,
Riwayat Sembilan Imam Fiqh, hal 217
[27]
Ali Hasan, Perbandingan
Mazhab Fikih, hal 188
[28] Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, hal 466
[29]
Sidi Nazar
Bakry, Fikih dan Ushul Fikih, hal. 231
[30]
Baqir
Ash-Shadr, Pengantar Ushul Fikih, hal 77
[32]
Hasan Hanafi, Metode
Tafsir dan Kemaslahatan Umat, hal 96
[33]
Muhammad Ibnu
Rusyd, Analisa Fikih Para Mujtahid, hal. 76
[34]
Jaiz Mubarok, Kaidah
Fikih, hal. 66
[35]
Murthadha
Muthahari, Tafsir Holistik, hal 147
[36] Muhammad Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Berjabatan Tangan Mungkinkah!
Mungkinkah?, hal 258
[37]
Yusuf Qardawi, Fikih
Prioritas, hal 241
[38] Muhammad Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Berjabatan Tangan Mungkinkah!
Mungkinkah?, hal. 257
Tidak ada komentar:
Posting Komentar