PENDAHULUAN
Darmaningtyas (2011) mengatakan dalam bukunya yang berjudul Pendidikan
Rusak-rusakan,bahwa pendidikan saat ini sungguh tidak memberdayakan
manusia. Informasi ini sungguh memprihatinkan dan sangat membutuhkan
rekonstruksi oleh para pakar pendidikan.[1]
Pada masa sekarang pun, dengan tetap
memberikan apresiasiyang tinggi, Kabinet Kerja yang dimotori oleh Anies
Baswedan selaku Menteri Kebudayaan dan
Pendidikan Dasar dan Menengah sudah melakukan perubahan kebijakan yang
sebelumnya sudah diterapkan oleh Muhammad Nuh tentang kurikulum 2013. [2]
Semua kebijakan yang diambil merupakan
upaya
Reformasi Birokrasi Pendidikan. Untuk lebih dalam menelaah apa itu Reformasi
Birokrasi Pendidikan, maka dalam kesempatan ini, akan disampaikan hal-hal yang
terkait di dalamnya.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Reformasi Birokrasi Pendidikan
Secara harfiah, kata reformasi bermakna suatu
gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal yang
menyimpang untuk dikembalikan kembali pada format atau bentuk semula sesuai
dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan. Berikut penjelasan beberapa
pengertian reformasi menurut beberapa ahli. Definisi ini tentunya berdasarkan
pemahamannya.
1. Menurut Quah, reformasi adalah suatu proses
untuk merubah proses, prosedur birokrasi pulik dan sikap serta tingkah laku
birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional.
2. Menurut Khan, reformasi adalah suatu perubahan
pokok dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah
laku dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama.[3]
Birokrasi sendiri berasal dari kata “bureau”
yang berarti meja atau kantor; dan kata “kratia” (cratein) yang
berarti pemerintah. Pada mulanya, istilah ini digunakan untuk menunjuk pada
suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah oleh suatu kantor
melalui kegiatan-kegiatan administrasi. Dalam konsep bahasa Inggris secara
umum, birokrasi disebut dengan “civil service”. Selain itu juga sering
disebut dengan public sector, public service atau public
administration.[4]
Sedangkan makna reformasi birokrasi memiliki beberapa
pengertian, yaitu:
1.
Perubahan besar dalam paradigma
dan tata kelola pemerintahan Indonesia.
2.
Pertaruhan besar bangsa Indonesia
dalam menghadapi tantangan abad ke-21.
3.
Berkaitan dengan ribuan proses
tumpang tindih antar fungsi-fungsi pemerintahan, melibatkan jutaan pegawai, dan
memerlukan anggaran yang tidak sedikit.
4.
Menata ulang proses birokrasi
dari tingkat tertinggi hingga terendah dan melakukan terobosan baru dengan
langkah-langkah bertahap, konkret, realistis, sungguh-sungguh, berpikir di luar
kebiasaan yang ada, perubahan paradigma, dan dengan upaya luar biasa.
5.
Merevisi dan membangun berbagai
regulasi, memodernkan berbagai kebijakan dan praktik manajemen pemerintah pusat
dan daerah, dan menyesuaikan tugas fungsi instansi pemerintah dengan paradigma
dan peran baru.
Reformasi Birokrasi juga
mempunyai tujuan yaitu, menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan
karakteristik, berintegrasi, berkinerja tinggi, bebas dan bersih KKN, mampu
melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai
dasar dan kode etik aparatur negara.[5]
Tujuan yang bersifat konseptual ini akan
berhasil apabila telah tercipta yang disebut ukuran keberhasilan. Ukuran
keberhasilan reformasi birokrasi ialah:
1.
Tidak ada korupsi
2.
Tidak ada pelanggaran/sanksi
3.
APBN dan APBD baik
4.
Semua program selesai dengan baik
5.
Semua perizinan selesai dengan
cepat dan tepat
6.
Komunikasi dengan publik baik
7.
Penggunaan waktu (jam kerja)
efektif dan produktif
8.
Penerapan reward dan punishment
secara konsisten dan berkelanjutan
9.
Hasil pembangunan nyata
(propertumbuhan, prolapangan kerja, dan propengurangan kemiskinan; artinya,
menciptakan lapangan pekerjaan, mengurangi kemiskinan, dan memperbaiki
kesejahteraan rakyat).[6]
Dari definisi tersebut, kemudian disandingkan
dengan kata pendidikan, dapat ditarik sebuah pengertian bahwa reformasi
birokrasi pendidikan merupakan proses untuk merubah administrasi atau tata
kelola sistem pendidikan yang mengacu pada tujuan pendidikan itu sendiri.
B. Pertimbangan
Pentingnya Reformasi Birokrasi Pendidikan
Ada tiga hal permasalahan. bidang
pendidikan yang sampai saat ini belum teratasi. Pertama, rendahnya
tingkat sumber daya manusia Indonesia yang dibuktikan dengan data studi UNDP
tahun 2000 yang menyatakan bahwa Human Development Indeks Indonesia menempati
urutan ke 109 dari 174 negara atau data tahun 2001 menempati urutan ke 102 dari
162 negara. Kedua, cerminan sikap atau watak
manusia Indonesia yang masih belum menampakkan sikap yang menjunjung
nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan rasa tanggung jawab (sikap kedewasaan). Ketiga,
yang paling parah adalah minimnya keterampilan yang dimiliki, sehingga
kemandirian dalam hal ekonomi setelah menyelesaikan sebuah jenjang pendidikan
kurang terwujud.
Padahal salah satu tujuan pendidikan adalah
untuk memandirikan peserta didik khususnya dalam hal ekonomi. Dengan demikian
dia mampu survive dalam kehidupannya yang akhirnya akan mempunyai kehormatan
diri di tengah-tengah masyarakatnya. Sebab orang yang tidak mampu mandiri dalam
hal ekonomi alias menganggur bukanlah orang yang mempunyai kehormatan diri.
Ketiga hal di atas, merupakan sasaran yang
harus diwujudkan dalam pembangunan pendidikan melalui perspektif persekolahan.
Kenyataannya ketiga hal tersebut sejak Indonesia merdeka sampai saat
ini belum dapat diwujudkan secara optimal. Berangkat dari konteks ini, maka
perspektif/kerangka persekolahan sebagai ujung tombak pembangunan pendidikan
merupakan sesuatu prioritas yang harus dipikirkan dalam merencanakan formula
reformasi pendidikan. Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan merupakan
lembaga strategis di dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Dengan demikian,
sekolah mau tidak. mau menjadi pusat perhatian oleh seluruh elemen bangsa untuk
dikaji kembali baik perencanaannya, pelaksanaannya, dan pengawasannya. Hal ini,
dikarenakan segala kebijakan di bidang pendidikan muara pelaksanaannya berada
di sekolah, sehingga maju mundurnya kualitas pendidikan tergantung dari
sejauhmana pengelolaan sekolah dilakukan baik yang menyangkut sarana dan
prasarana, seperti gedung sekolah, kurikulum, guru, dan lingkungan sekitarnya.
Di dalam pengelolaan sekolah bukan hanya
guru dan kepala sekolah yang ikut andil. Akan tetapi, peranan para pejabat yang
duduk di birokrasi pendidikanpun yang note bene arsitek pendidikan harus ikut
bertanggungjawab jika terjadi kemunduran pendidikan. Keberhasilan para pejabat
di birokrat bukan hanya diukur dari keberhasilan proyek yang dikelolanya dan
bukan pula diukur dari ludesnya anggaran yang dikelola tepat waktu, tetapi yang
lebih penting adalah sejauhmana kebijakan yang dikeluarkan. Dengan itu
mempunyai dampak dalam mengembangkan dan memajukan sekolah yang wujud nyatanya
adalah tercapainya ketiga indikator di atas. Dengan demikian, akan melahirkan
anggota masyarakat yang berkualitas sebagai hasil pendidikan.
Pada dasarnya ketiga
indikator di atas merupakan sari misi pendidikan yang tertulis dalam GBHN 1999
yang menyatakan bahwa misi pendidikan adalah untuk memperteguh akhlak/budi
pekerti, bertanggung jawab, bermoral, kreatif/inovatif, berdisiplin, berwawasan
kebangsan, cerdas, dan memiliki iptek serta memiliki keterampilan. Jika misi ini tercapai, maka SDM yang
berkualitas akan terwujud, dan inilah idealisme pendidikan yang harus menjadi
acuan reformasi pendidikan saat ini. Sebagai konsekuensinya adalah perlunya
mereformasi pendidikan khususnya dalam kerangka persekolahan.
Adapun yang menjadi permasalahan adalah satuan
pendidikan manakah yang harus direformasi agar misi ini dapat tercapai? Apakah
sejak pendidikan dasar (SD plus SLTP), pendidikan menengah (SMU atau SMK), atau
termasuk pendidikan tinggi? Jawabannya tentunya di setiap jenjang pendidikan
harus melakukan reformasi baik reformasi pengelolaannya dalam artian manajemen
sekolah dan juga reformasi terhadap oknum pengelolanya (subjek). Selain itu
perlu juga kita angkat persoalan apakah setiap jenjang pendidikan harus
mencapai ketiga misi itu? Jawabannya adalah setiap penyelesaian jenjang
pebndidikan baik pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi harus mencapai
ketiga hal tersebut sesuai dengan porsi masing-masing jenjang pendidikan.
Misalnya, jika seseorang telah menyelesaikan jenjang pendidikan dasar dan
karena sesuau hal tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih
tinggi. Dengan demikian orang tersebut telah memiliki pengetahuan dan
keterampilan serta sikap/etika yang dapat diaplikasikan untuk bekerja atau
menjadi seorang karyawan? Hal inilah salah satu yang perlu dikaji dalam
membuatkonsep reformasi pendidikan. Sebab dewasa ini data anak yang putus
sekolah baik pendidikan dasar dan pendidikan menengah cukup besar, baik di
pedesaan maupun di perkotaan dan semuanya tidak mampu mandiri secara ekonomi
alias menganggur. Dan pada dasarnya tidak semua peserta didik akan
dicetak menjadi sarjana. Oleh karena itu, perlu ada konsep pendidikan yang
beraneka ragam sesuai dengan kebutuhan.[7]
Berdasarkan kacamata
para ahli, diantaranya Weber mengatakan, dalam “Kekuasaan Birokratik
dan Cara-cara Mengontrolnya”, cenderung memandang birokrasi merupakan
proses yang tak terelakkan sebagai konsekuensi rasionalisasi dan modernisasi. Ia berharap bahwa kekuasaan birokrasi dapat
dikontrol oleh para pemimpin politik dan pengusaha, utamanya pemimpin
kharismatik.
Sementara, Mises lebih
melihat pertumbuhan kekuasaan birokrasi merupakan akibat langsung dari pilihan
politik para elite, khususnya ideologi Negara yang intervensionis.
Mises mencemaskan kekuasaan birokrasi sebagai manifestasi ideologi
totaliterisme yang mengancam demokrasi, kebebasan individu, dan kemakmuran
ekonomi melalui mekanisme pasar.
Mengapa birokrasi
pendidikan layak untuk diperhatikan dengan memperbaiki kualitas layanannya,
yakni dengan mereformasinya? Ada 2 alasan yang melatarbelakanginya.
1.
Pendidikan merupakan instrumen kebijakan
politik pemerintah. Terdapat keterkaitan antara politik dengan
pendidikan. M. Sirozi, menunjukkan keterkaitan antara keduanya dengan menyebutkan bahwa pendidikan dan
politik merupakan dua elemen penting dalam sistem sosial politik di setiap Negara, baik Negara
maju maupun Negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian-bagian
terpisah, yang satu sama lain tidak memiliki hubungan apa-apa, padahal,
keduanya bahu-membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat.[8]
Pendapat di atas menggambarkan dua hal. Pertama, eratnya
hubungan antara politik dan pendidikan. Kedua, besarnya
pengaruh hubungan tersebut terhadap tatanan kehidupan sosial politik
masyarakat. Di Indonesia, kebijakan pendidikan diarahkan untuk menciptakan
manusia yang merdeka dan demokratis dengan memiliki kekuatan pada aspek-aspek
keimanan menurut agama yang dianutnya. Karena itu urusan pendidikan tidak
sekadar merupakan hak dan kebutuhan masyarakat, tetapi juga merupakan kewajiban
negara kepada warga negaranya. Warganegara berhak memperoleh pendidikan, sedang
negara wajib memfasilitasinya. Hubungan pendidikan dan negara menjadi begitu
penting, karena pengaturan umum perihal pendidikan harus diadakan dan itu
berarti peran negara dan pemerintah mutlak diperlukan. Dalam kaitan itulah maka
penyusunan kebijakan yang dikembangkan pemerintah dalam bidang pendidikan
menjadi sangat penting. Indonesia termasuk negara yang memasukkan urusan
pendidikan ke dalam konstitusi (Undang-Undang Dasar). Karena itu, pengaturan
lebih lanjut tentang pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai
pemegang amanat konstitusi tersebut. Dalam kaitan ini, maka pendidikan bisa
dipandang sebagai tujuan. Tetapi, dalam konteks yang lebih makro, pendidikan
dijadikan sebagai instrumen negara untuk merealisasi tujuan negara yang lebih besar.
Dengan cara pandang seperti itu, maka pendidikan merupakan instrumen kebijakan
negara untuk mencapai tujuan. Dalam tataran kebijakan, telah diputuskan bahwa
sistem penyelenggaraan dan kewenangan pengembangan pendidikan diserahkan kepada
masing-masing daerah (desentralisasi). Hal ini merupakan konsekuensi logis dari
reformasi pemerintahan yang sudah dijalankan.[9]
2.
Birokrasi pendidikan sebagaimana
yang ditampilkan (performance) sampai sekarang ini,
menyebabkan kelambanan pelayanan publik di bidang pendidikan dan kelambanan
praktik penyelenggaraan pendidikan sampai pada tingkat satuan pendidikan (sekolah). Ace Suryadi, sejak menjabat Staf Ahli Mendiknas Bidang
Desentralisasi Pendidikan, mencatat hal ini dengan baik. Dalam sebuah
makalahnya yang disampaikan pada forum Sosialisasi Pemberdayaan Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah pada tahun 2003, ia membuat pernyataan yang
menarik. Menurutnya, “Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam
suatu iklim birokratik dan sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang
telah membuahkan keterpurukan dalam mutu dan keunggulan pendidikan di tanah
air. Mengapa demikian? Karena sistem birokrasi selalu menempatkan “kekuasaan”
sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses pengambilan keputusan.”
Sekolah-sekolah saat
ini telah terkungkung oleh kekuasaan birokrasi yang “menggurita” sejak
kekuasaan tingkat pusat hingga daerah bahkan terkesan semakin buruk dalam era
desentralisasi ini. Ironisnya, kepala sekolah dan guru-guru sebagai pihak
yang paling memahami realitas pendidikan berada pada tempat yang
“dikendalikan”. Merekalah seharusnya yang paling berperan sebagai pengambil
keputusan dalam mengatasi berbagai persoalan sehari-hari yang menghadang
upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun, mereka ada dalam posisi tidak berdaya
dan tertekan oleh berbagai pembakuan dalam bentuk juklak dan juknis yang
“pasti” tidak sesuai dengan kenyataan objektif di masing-masing sekolah. Oleh
karena itu tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kekuasaan birokrasi
persekolahan telah membuat sistem pendidikan kita tak pernah terhenti dari
keterpurukan. Kekuasaan birokrasi jugalah yang menjadi faktor sebab dari
menurunnya semangat partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan
di sekolah. Karenanya, berawal dari arti penting dan urgensi birokrasi
pemerintahan pada sektor pendidikan ini, tulisan ini hendak menyajikan
upaya reformasi birokrasi pemerintah daerah, pada sektor pendidikan. Yang
bertujuan, disamping mengikis jeratan kekuasaan birokrasi yang melilit dan
menghambat praktik penyelenggaraan pendidikan, terutama di tingkat satuan pendidikan
(sekolah), yang lebih penting adalah mengoperasionalkan otonomi sekolah dalam
arti sesungguhnya, sekaligus mengembalikan fungsi dan kepemilikan
sekolah kepada pemiliknya, yakni masyarakat.
C.
Dimensi Reformasi Birokrasi Sekolah Masa Depan
Dalam konteks reformasi, tersirat tentunya
wacana pendidikan masa depan yang lebih baik. Berbicara pendidikan, tentunya
banyak item yang harus berperan, yaitu peserta didik, sekolah, orang tua,
masyarakat (lingkungan) maupun pemerintah (daerah dan pusat). Pada pembahasan
ini, pemateri hanya membahas pada peran sekolah. Jadi harus seperti apa reformasi
sekolah masa depan dan apa dimensi-dimensi yang berhubungan dengan hal
tersebut.
Dimensi-dimensi dalam melakukan reformasi
birokrasi sekolah masa depan yaitu:
1.
Piagam Sekolah
Piagam sekolah adalah dokumen resmi, yang
dibuat oleh sekolah dan dewan sekolah dengan masyarakat sekolah. Pada satu
sisi, hal ini mempertimbangkan persetujuan akuntabilitas yang besar antara
sekolah dan masyarakat bagi prestasi siswanya, dan pada sisi lain, sekolah dan
Departemen Pendidikan juga dituntut untuk melakukan persetujuan akuntabilitas.
Sekolah mengembangkan anggaran dasarnya
sendiri, yang menguraikan bagaimana sekolah berkeinginan memberikan pendidikan
mutu kepada siswanya dengan menggunakan sumberdaya yang ada.
Dokumen piagam meliputi kurikulum, aturan
pelaksanaan, aturan perilaku siswa, akuntabilitas, ringkasan anggaran, dan
sebuah persetujuan untuk menjamin bahwa sekolah memenuhi tujuannya sesuai
keterbatasan sumberdaya yang ada.
Piagam sekolah menentukan arah strategis
selama tiga tahun. Ia memberikan dasar rencana kegiatan terperinci dan
memungkinkan identifikasi pengukuran prestasi dalam memenuhi tujuan dan
prioritas yang berkaitan dengan kurikulum, lingkungan sekolah, manajemen, dan
alokasi sumberdaya. Setiap tahun, sekolah melapor kepada Departemen Pendidikan
dan masyarakat lokalnya mengenai prestasinya dalam mencapai tujuan dan
prioritasnya.[10]
2.
Kerangka Standar dan Kurikulum
Ada delapan bidang pengetahuan pokok dalam Kerangka
standar kurikulum tersebut; pendidikan seni, bahasa Ingris, bahasa selain
bahasa inggris, matematika, sains, teknologi, kajian masyarakat dan lingkungan,
serta pendidikan kesehatan dan jasmani. Standar ini harus benar-benar dikuasai
maksimal kelas X.
Dalam konteks ini, Ibtisam Abu Dohou tidak
memasukkan pendidikan akidah, akhlak atau yang lainnya yang dalam negara
Indonesia dipandang sangat penting, karena dinegaranya berbeda dengan negara
Indonesia.
Kerangka standar kurikulum ini, terdiri atas
standar proses dan standar kandungan (hasil). Oleh karena itu, proses hendaknya
tidak mendapatkan perhatian yang minim.
3.
Akuntabilitas Lokal dan Sistemik
Dimensi ini menjalankan dua tujuan utama
yaitu; Pertama, memenuhi harapan pemerintah yang sah mengenai
akuntabilitas terhadap keluaran pendidikan. Kedua, membantu guru
meningkatkan standar belajar siswa.[11]
Hal tersebut menekankan sekolah untuk memantau
dan melaporkan efektivitasnya serta memusatkan perhatian pada peningkatan
efektivitas.
4.
Penilaian Mandiri Sekolah
Penilaian ini merupakan dokumentasi ringkasan
prestasi sekolah pada masa tiga tahun anggaran dasar. Dalam pelaksanaannya,
sekolah diharapkan dapat melibatkan masyarakat dalam melakukan penilaian ini,
bisa menggunakan jasa konsultan ataupun orang tua siswa.
5.
Verifikasi
Verivikator eksternal yang dikontrak
Departemen Pendidikan untuk melakukan verifikasi penilaian mandiri sekolah.
Proses verifikasi dibangun sebagai penegasan dan tantangan. Penegasan berarti
bahwa pekerjaan sekolah dan kemajuan yang dicapai pada tiga tahun lalu diakui
dan dirayakan. Tantangan berarti bahwa proses tersebut menghasilkan tujuan,
prioritas dan arah baru mengenai fokus kemajuan bagi tiga tahun berikutnya.
Verifikator berperan sebagai mitra sekolah yang kritis bagi sekolah dalam
melihat analisis data sekolah untuk menjamin bahwa penilaian mandiri sekolah
didukung oleh data yang sudah disajikan, mengutamakan prestasi, mencatat bidang
yang dapat ditingkatkan atau bidang lain yang terabaikan.
6.
Anggaran Global Sekolah (AGS)
Melalui dimensi ini, merupakan model
pembiayaan berbasis formula, yang terdiri dari elemen dasar bagi semua sekolah,
bersama-sama dengan rasa keadilan berdasarkan pada karakteristik siswa yang
mendaftar. Pada saat yang sama, AGS merupakan suatu usaha untuk menyesuaikan
sumberdaya bagi kebutuhan belajar. AGS menyediakan pembiayaan bagi semua
pengeluaran berbasis sekolah, termasuk gaji staf, biaya operasional dan
pemeliharaan sekolah.
AGS pada dasarnya merupakan suatu ‘Needs-based
activity-led funding model (model pembiayaan kegiatan berbasis kebutuhan).
Oleh karena itu, sekolah harus memiliki fleksibilitas dalam mengalokasikan
semua sumberdaya sesuai dengan kebutuhan lokal.[12]
Dari dimensi-dimensi upaya reformasi birokrasi pendidikan
melalui Sekolah Masa Depan diharapkan adanya perubahan kualitas pendidikan bagi
siswa dengan melimpahkan tanggung jawab ke sekolah dalam membuat keputusan,
menentukan prioritas dan mengawasi sumberdaya yang ada pada sekolah.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Reformasi birokrasi pendidikan hendaknya tidak
dilakukan secara sektoral. Dengan kata lain, tidak hanya pada sisi kurikulumnya
saja. Angaran, evaluasi dan lainnya harus mendapatkan perhatian yang
proporsional.
Sekolah Masa Depan hendaknya menjadi konsep dasar
dalam melakukan perbaikan birokrasi pendidikan. Sekolah Masa Depan pun harus juga
dikritisi apabila seiring dengan berjalannya waktu, hal tersebut sudah tidak
relavan lagi.
Peran guru, orang tua, pemerintah tentunya sangat
penting dalam lapak tilas reformasi birokrasi pendidikan.
B.
Kritik dan Saran
Dengan ini kami membuka ruang diskusi yang
lebih jauh lagi, demi terciptanya khazanah keilmuan yang lebih sempurna,
khususnya pada pembahasan makalah ini. Silahkan email ke suprihatinalghozali@aol.com!
DAFTAR PUSTAKA
Agus Dwiyanto. Mengembalikan Kepercayaan
Publik Melalui Reformasi Birokrasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Darmaningtyas. Pendidikan Rusak-Rusakan, Yogyakarta:
LkiS, 2011.
Http://ejournal.umm.ac.id/
Http://www.republika.co.id/
Ibtisam Abu Duhou. Manajemen Berbasis
Sekolah, diterjemahkan oleh
Noryamin, Suparto, dan Abas Al-Jauhari dari judul School-Based
Management. Jakarta: Logos, 2002.
Sirozi M. Politik Pendidikan, Dinamika Hubungan
Antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta: Rajawali Press, 2005.
[3] Agus Dwiyanto, Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi
Birokrasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010, hal. 23
[5] http://www.menpan.go.id/reformasi-birokrasi/530-makna-dan-tujuan (Diakses pada 1 Maret 2015 pukul 09.00 wib)
[6] http://www.menpan.go.id/reformasi-birokrasi/534-ukuran-keberhasilan-rb
(Diakses pada 1 Maret 2015 pukul 09.00 wib)
[7] Abdul Haris, Respon Sekolah Muhammadiyah terhadap Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS): Studi pada empat sekolah di Komplek Perguruan Muhammadiyah Tlogomas
Malang, dalam http://ejournal.umm.ac.id/index.php/humanity/article/view/114/118. Diakses pada 2 Maret 2015.
[8] M. Sirozi, Politik Pendidikan, Dinamika Hubungan
Antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta: Penerbit Rajawali Press, 2005, hal. 1.
[9] M. Sirozi, Politik
Pendidikan, Dinamika Hubungan Antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta: Rajawali
Press, 2005, hal.83-84.
"Pentingnya Reformasi Pendidikan bagi Revolusi mental Bangsa"
BalasHapus"
http://rahmatfredy.blog.com/2015/12/25/pentingnya-reformasi-pendidikan-dalam-rangka-revolusi-mental-bangsa-indonesia/