WELCOME

WELCOME TO MY BLOG

Sabtu, 14 Maret 2015

REVORMASI BIROKRASI PENDIDIKAN pada Manajemen Berbasis Sekolah

PENDAHULUAN
Darmaningtyas (2011) mengatakan dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Rusak-rusakan,bahwa pendidikan saat ini sungguh tidak memberdayakan manusia. Informasi ini sungguh memprihatinkan dan sangat membutuhkan rekonstruksi oleh para pakar pendidikan.[1]
Pada masa sekarang pun, dengan tetap memberikan apresiasiyang tinggi, Kabinet Kerja yang dimotori oleh Anies Baswedan selaku Menteri Kebudayaan  dan Pendidikan Dasar dan Menengah sudah melakukan perubahan kebijakan yang sebelumnya sudah diterapkan oleh Muhammad Nuh tentang kurikulum 2013. [2]
Semua kebijakan yang diambil merupakan
upaya Reformasi Birokrasi Pendidikan. Untuk lebih dalam menelaah apa itu Reformasi Birokrasi Pendidikan, maka dalam kesempatan ini, akan disampaikan hal-hal yang terkait di dalamnya.


PEMBAHASAN
A.      Pengertian Reformasi Birokrasi Pendidikan
Secara harfiah, kata reformasi bermakna suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan kembali pada format atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan. Berikut penjelasan beberapa pengertian reformasi menurut beberapa ahli. Definisi ini tentunya berdasarkan pemahamannya.
1.      Menurut Quah, reformasi adalah suatu proses untuk merubah proses, prosedur birokrasi pulik dan sikap serta tingkah laku birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional.
2.      Menurut Khan, reformasi adalah suatu perubahan pokok dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama.[3]
Birokrasi sendiri berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor;  dan kata “kratia” (cratein) yang berarti pemerintah. Pada mulanya, istilah ini digunakan untuk menunjuk pada suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah oleh suatu kantor melalui kegiatan-kegiatan administrasi. Dalam konsep bahasa Inggris secara umum, birokrasi disebut dengan “civil service”. Selain itu juga sering disebut dengan public sector, public service atau public administration.[4]
Sedangkan makna reformasi birokrasi memiliki beberapa pengertian, yaitu:
1.         Perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan Indonesia.
2.         Pertaruhan besar bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan abad ke-21.
3.         Berkaitan dengan ribuan proses tumpang tindih antar fungsi-fungsi pemerintahan, melibatkan jutaan pegawai, dan memerlukan anggaran yang tidak sedikit.
4.         Menata ulang proses birokrasi dari tingkat tertinggi hingga terendah dan melakukan terobosan baru dengan langkah-langkah bertahap, konkret, realistis, sungguh-sungguh, berpikir di luar kebiasaan yang ada, perubahan paradigma, dan dengan upaya luar biasa.
5.         Merevisi dan membangun berbagai regulasi, memodernkan berbagai kebijakan dan praktik manajemen pemerintah pusat dan daerah, dan menyesuaikan tugas fungsi instansi pemerintah dengan paradigma dan peran baru.
Reformasi Birokrasi juga mempunyai tujuan yaitu, menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik, berintegrasi, berkinerja tinggi, bebas dan bersih KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara.[5]
Tujuan yang bersifat konseptual ini akan berhasil apabila telah tercipta yang disebut ukuran keberhasilan. Ukuran keberhasilan reformasi birokrasi ialah:
1.         Tidak ada korupsi
2.         Tidak ada pelanggaran/sanksi
3.         APBN dan APBD baik
4.         Semua program selesai dengan baik
5.         Semua perizinan selesai dengan cepat dan tepat
6.         Komunikasi dengan publik baik
7.         Penggunaan waktu (jam kerja) efektif dan produktif
8.         Penerapan reward dan punishment secara konsisten dan berkelanjutan
9.         Hasil pembangunan nyata (propertumbuhan, prolapangan kerja, dan propengurangan kemiskinan; artinya, menciptakan lapangan pekerjaan, mengurangi kemiskinan, dan memperbaiki kesejahteraan rakyat).[6]
Dari definisi tersebut, kemudian disandingkan dengan kata pendidikan, dapat ditarik sebuah pengertian bahwa reformasi birokrasi pendidikan merupakan proses untuk merubah administrasi atau tata kelola sistem pendidikan yang mengacu pada tujuan pendidikan itu sendiri.

B.       Pertimbangan Pentingnya Reformasi Birokrasi Pendidikan
Ada tiga hal permasalahan. bidang pendidikan yang sampai saat ini belum teratasi. Pertama, rendahnya tingkat sumber daya manusia Indonesia yang dibuktikan dengan data studi UNDP tahun 2000 yang menyatakan bahwa Human Development Indeks Indonesia menempati urutan ke 109 dari 174 negara atau data tahun 2001 menempati urutan ke 102 dari 162 negara. Kedua, cerminan sikap atau watak manusia Indonesia yang masih belum menampakkan sikap yang menjunjung nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan rasa tanggung jawab (sikap kedewasaan). Ketiga, yang paling parah adalah minimnya keterampilan yang dimiliki, sehingga kemandirian dalam hal ekonomi setelah menyelesaikan sebuah jenjang pendidikan kurang terwujud.
Padahal salah satu tujuan pendidikan adalah untuk memandirikan peserta didik khususnya dalam hal ekonomi. Dengan demikian dia mampu survive dalam kehidupannya yang akhirnya akan mempunyai kehormatan diri di tengah-tengah masyarakatnya. Sebab orang yang tidak mampu mandiri dalam hal ekonomi alias menganggur bukanlah orang yang mempunyai kehormatan diri.
Ketiga hal di atas, merupakan sasaran yang harus diwujudkan dalam pembangunan pendidikan melalui perspektif persekolahan. Kenyataannya ketiga hal tersebut sejak Indonesia merdeka sampai saat ini belum dapat diwujudkan secara optimal. Berangkat dari konteks ini, maka perspektif/kerangka persekolahan sebagai ujung tombak pembangunan pendidikan merupakan sesuatu prioritas yang harus dipikirkan dalam merencanakan formula reformasi pendidikan. Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan merupakan lembaga strategis di dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Dengan demikian, sekolah mau tidak. mau menjadi pusat perhatian oleh seluruh elemen bangsa untuk dikaji kembali baik perencanaannya, pelaksanaannya, dan pengawasannya. Hal ini, dikarenakan segala kebijakan di bidang pendidikan muara pelaksanaannya berada di sekolah, sehingga maju mundurnya kualitas pendidikan tergantung dari sejauhmana pengelolaan sekolah dilakukan baik yang menyangkut sarana dan prasarana, seperti gedung sekolah, kurikulum, guru, dan lingkungan sekitarnya.
Di dalam pengelolaan sekolah bukan hanya guru dan kepala sekolah yang ikut andil. Akan tetapi, peranan para pejabat yang duduk di birokrasi pendidikanpun yang note bene arsitek pendidikan harus ikut bertanggungjawab jika terjadi kemunduran pendidikan. Keberhasilan para pejabat di birokrat bukan hanya diukur dari keberhasilan proyek yang dikelolanya dan bukan pula diukur dari ludesnya anggaran yang dikelola tepat waktu, tetapi yang lebih penting adalah sejauhmana kebijakan yang dikeluarkan. Dengan itu mempunyai dampak dalam mengembangkan dan memajukan sekolah yang wujud nyatanya adalah tercapainya ketiga indikator di atas. Dengan demikian, akan melahirkan anggota masyarakat yang berkualitas sebagai hasil pendidikan.
Pada dasarnya ketiga indikator di atas merupakan sari misi pendidikan yang tertulis dalam GBHN 1999 yang menyatakan bahwa misi pendidikan adalah untuk memperteguh akhlak/budi pekerti, bertanggung jawab, bermoral, kreatif/inovatif, berdisiplin, berwawasan kebangsan, cerdas, dan memiliki iptek serta memiliki keterampilan. Jika misi ini tercapai, maka SDM yang berkualitas akan terwujud, dan inilah idealisme pendidikan yang harus menjadi acuan reformasi pendidikan saat ini. Sebagai konsekuensinya adalah perlunya mereformasi pendidikan khususnya dalam kerangka persekolahan.
Adapun yang menjadi permasalahan adalah satuan pendidikan manakah yang harus direformasi agar misi ini dapat tercapai? Apakah sejak pendidikan dasar (SD plus SLTP), pendidikan menengah (SMU atau SMK), atau termasuk pendidikan tinggi? Jawabannya tentunya di setiap jenjang pendidikan harus melakukan reformasi baik reformasi pengelolaannya dalam artian manajemen sekolah dan juga reformasi terhadap oknum pengelolanya (subjek). Selain itu perlu juga kita angkat persoalan apakah setiap jenjang pendidikan harus mencapai ketiga misi itu? Jawabannya adalah setiap penyelesaian jenjang pebndidikan baik pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi harus mencapai ketiga hal tersebut sesuai dengan porsi masing-masing jenjang pendidikan. Misalnya, jika seseorang telah menyelesaikan jenjang pendidikan dasar dan karena sesuau hal tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian orang tersebut telah memiliki pengetahuan dan keterampilan serta sikap/etika yang dapat diaplikasikan untuk bekerja atau menjadi seorang karyawan? Hal inilah salah satu yang perlu dikaji dalam membuatkonsep reformasi pendidikan. Sebab dewasa ini data anak yang putus sekolah baik pendidikan dasar dan pendidikan menengah cukup besar, baik di pedesaan maupun di perkotaan dan semuanya tidak mampu mandiri secara ekonomi alias menganggur. Dan pada dasarnya tidak semua peserta didik akan dicetak menjadi sarjana. Oleh karena itu, perlu ada konsep pendidikan yang beraneka ragam sesuai dengan kebutuhan.[7]
Berdasarkan kacamata para ahli, diantaranya Weber mengatakan, dalam “Kekuasaan Birokratik dan Cara-cara Mengontrolnya”, cenderung memandang birokrasi merupakan proses yang tak terelakkan sebagai konsekuensi rasionalisasi dan modernisasi. Ia berharap bahwa kekuasaan birokrasi dapat dikontrol oleh para pemimpin politik dan pengusaha, utamanya pemimpin kharismatik.
Sementara, Mises lebih melihat pertumbuhan kekuasaan birokrasi merupakan akibat langsung dari pilihan politik para elite, khususnya ideologi Negara yang intervensionis. Mises mencemaskan kekuasaan birokrasi sebagai manifestasi ideologi totaliterisme yang mengancam demokrasi, kebebasan individu, dan kemakmuran ekonomi melalui mekanisme pasar.
Mengapa birokrasi pendidikan layak untuk diperhatikan dengan memperbaiki kualitas layanannya, yakni dengan mereformasinya? Ada 2 alasan yang melatarbelakanginya.
1.             Pendidikan merupakan instrumen kebijakan politik pemerintah. Terdapat keterkaitan antara politik dengan pendidikan. M. Sirozi, menunjukkan keterkaitan antara keduanya dengan menyebutkan bahwa pendidikan dan politik merupakan dua elemen penting dalam sistem sosial politik di setiap Negara, baik Negara maju maupun Negara berkembang.  Keduanya sering dilihat sebagai bagian-bagian terpisah, yang satu sama lain tidak memiliki hubungan apa-apa, padahal, keduanya bahu-membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat.[8]
Pendapat di atas menggambarkan dua hal. Pertama, eratnya hubungan antara politik dan pendidikan. Kedua, besarnya pengaruh hubungan tersebut terhadap tatanan kehidupan sosial politik masyarakat. Di Indonesia, kebijakan pendidikan diarahkan untuk menciptakan manusia yang merdeka dan demokratis dengan memiliki kekuatan pada aspek-aspek keimanan menurut agama yang dianutnya. Karena itu urusan pendidikan tidak sekadar merupakan hak dan kebutuhan masyarakat, tetapi juga merupakan kewajiban negara kepada warga negaranya. Warganegara berhak memperoleh pendidikan, sedang negara wajib memfasilitasinya. Hubungan pendidikan dan negara menjadi begitu penting, karena pengaturan umum perihal pendidikan harus diadakan dan itu berarti peran negara dan pemerintah mutlak diperlukan. Dalam kaitan itulah maka penyusunan kebijakan yang dikembangkan pemerintah dalam bidang pendidikan menjadi sangat penting. Indonesia termasuk negara yang memasukkan urusan pendidikan ke dalam konstitusi (Undang-Undang Dasar). Karena itu, pengaturan lebih lanjut tentang pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pemegang amanat konstitusi tersebut. Dalam kaitan ini, maka pendidikan bisa dipandang sebagai tujuan. Tetapi, dalam konteks yang lebih makro, pendidikan dijadikan sebagai instrumen negara untuk merealisasi tujuan negara yang lebih besar. Dengan cara pandang seperti itu, maka pendidikan merupakan instrumen kebijakan negara untuk mencapai tujuan. Dalam tataran kebijakan, telah diputuskan bahwa sistem penyelenggaraan dan kewenangan pengembangan pendidikan diserahkan kepada masing-masing daerah (desentralisasi). Hal ini merupakan konsekuensi logis dari reformasi pemerintahan yang sudah dijalankan.[9]
2.             Birokrasi pendidikan sebagaimana yang ditampilkan (performance) sampai sekarang ini, menyebabkan kelambanan pelayanan publik di bidang pendidikan dan kelambanan praktik penyelenggaraan pendidikan sampai pada tingkat satuan pendidikan (sekolah). Ace Suryadi, sejak menjabat Staf Ahli Mendiknas Bidang Desentralisasi  Pendidikan, mencatat hal ini dengan baik. Dalam sebuah makalahnya yang disampaikan pada forum Sosialisasi Pemberdayaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah pada tahun 2003, ia membuat pernyataan yang menarik. Menurutnya, “Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan keterpurukan dalam mutu dan keunggulan pendidikan di tanah air. Mengapa demikian? Karena sistem birokrasi selalu menempatkan “kekuasaan” sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses pengambilan keputusan.”
Sekolah-sekolah saat ini telah terkungkung oleh kekuasaan birokrasi yang “menggurita” sejak kekuasaan tingkat pusat hingga daerah bahkan terkesan semakin buruk dalam era desentralisasi ini.  Ironisnya, kepala sekolah dan guru-guru sebagai pihak yang paling memahami realitas pendidikan berada pada tempat yang “dikendalikan”. Merekalah seharusnya yang paling berperan sebagai pengambil keputusan dalam mengatasi berbagai persoalan sehari-hari yang menghadang  upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun, mereka ada dalam posisi tidak berdaya dan tertekan oleh berbagai pembakuan dalam bentuk juklak dan juknis yang “pasti” tidak sesuai dengan kenyataan objektif di masing-masing sekolah. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kekuasaan birokrasi persekolahan telah membuat sistem pendidikan kita tak pernah terhenti dari keterpurukan. Kekuasaan birokrasi jugalah yang menjadi faktor sebab dari menurunnya semangat partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Karenanya, berawal dari arti penting dan urgensi birokrasi pemerintahan pada sektor pendidikan ini,  tulisan ini hendak menyajikan upaya reformasi birokrasi pemerintah daerah, pada sektor pendidikan. Yang bertujuan, disamping mengikis jeratan kekuasaan birokrasi yang melilit dan menghambat praktik penyelenggaraan pendidikan, terutama di tingkat satuan pendidikan (sekolah), yang lebih penting adalah mengoperasionalkan otonomi sekolah dalam arti sesungguhnya, sekaligus mengembalikan fungsi dan kepemilikan sekolah kepada pemiliknya, yakni masyarakat.




C.      Dimensi Reformasi Birokrasi Sekolah Masa Depan
Dalam konteks reformasi, tersirat tentunya wacana pendidikan masa depan yang lebih baik. Berbicara pendidikan, tentunya banyak item yang harus berperan, yaitu peserta didik, sekolah, orang tua, masyarakat (lingkungan) maupun pemerintah (daerah dan pusat). Pada pembahasan ini, pemateri hanya membahas pada peran sekolah. Jadi harus seperti apa reformasi sekolah masa depan dan apa dimensi-dimensi yang berhubungan dengan hal tersebut.
Dimensi-dimensi dalam melakukan reformasi birokrasi sekolah masa depan yaitu:
1.         Piagam Sekolah
Piagam sekolah adalah dokumen resmi, yang dibuat oleh sekolah dan dewan sekolah dengan masyarakat sekolah. Pada satu sisi, hal ini mempertimbangkan persetujuan akuntabilitas yang besar antara sekolah dan masyarakat bagi prestasi siswanya, dan pada sisi lain, sekolah dan Departemen Pendidikan juga dituntut untuk melakukan persetujuan akuntabilitas.
Sekolah mengembangkan anggaran dasarnya sendiri, yang menguraikan bagaimana sekolah berkeinginan memberikan pendidikan mutu kepada siswanya dengan menggunakan sumberdaya yang ada.
Dokumen piagam meliputi kurikulum, aturan pelaksanaan, aturan perilaku siswa, akuntabilitas, ringkasan anggaran, dan sebuah persetujuan untuk menjamin bahwa sekolah memenuhi tujuannya sesuai keterbatasan sumberdaya yang ada.
Piagam sekolah menentukan arah strategis selama tiga tahun. Ia memberikan dasar rencana kegiatan terperinci dan memungkinkan identifikasi pengukuran prestasi dalam memenuhi tujuan dan prioritas yang berkaitan dengan kurikulum, lingkungan sekolah, manajemen, dan alokasi sumberdaya. Setiap tahun, sekolah melapor kepada Departemen Pendidikan dan masyarakat lokalnya mengenai prestasinya dalam mencapai tujuan dan prioritasnya.[10]
2.         Kerangka Standar dan Kurikulum
Ada delapan bidang pengetahuan pokok dalam Kerangka standar kurikulum tersebut; pendidikan seni, bahasa Ingris, bahasa selain bahasa inggris, matematika, sains, teknologi, kajian masyarakat dan lingkungan, serta pendidikan kesehatan dan jasmani. Standar ini harus benar-benar dikuasai maksimal kelas X.
Dalam konteks ini, Ibtisam Abu Dohou tidak memasukkan pendidikan akidah, akhlak atau yang lainnya yang dalam negara Indonesia dipandang sangat penting, karena dinegaranya berbeda dengan negara Indonesia.
Kerangka standar kurikulum ini, terdiri atas standar proses dan standar kandungan (hasil). Oleh karena itu, proses hendaknya tidak mendapatkan perhatian yang minim.
3.         Akuntabilitas Lokal dan Sistemik
Dimensi ini menjalankan dua tujuan utama yaitu; Pertama, memenuhi harapan pemerintah yang sah mengenai akuntabilitas terhadap keluaran pendidikan. Kedua, membantu guru meningkatkan standar belajar siswa.[11]
Hal tersebut menekankan sekolah untuk memantau dan melaporkan efektivitasnya serta memusatkan perhatian pada peningkatan efektivitas.
4.         Penilaian Mandiri Sekolah
Penilaian ini merupakan dokumentasi ringkasan prestasi sekolah pada masa tiga tahun anggaran dasar. Dalam pelaksanaannya, sekolah diharapkan dapat melibatkan masyarakat dalam melakukan penilaian ini, bisa menggunakan jasa konsultan ataupun orang tua siswa.
5.         Verifikasi
Verivikator eksternal yang dikontrak Departemen Pendidikan untuk melakukan verifikasi penilaian mandiri sekolah. Proses verifikasi dibangun sebagai penegasan dan tantangan. Penegasan berarti bahwa pekerjaan sekolah dan kemajuan yang dicapai pada tiga tahun lalu diakui dan dirayakan. Tantangan berarti bahwa proses tersebut menghasilkan tujuan, prioritas dan arah baru mengenai fokus kemajuan bagi tiga tahun berikutnya. Verifikator berperan sebagai mitra sekolah yang kritis bagi sekolah dalam melihat analisis data sekolah untuk menjamin bahwa penilaian mandiri sekolah didukung oleh data yang sudah disajikan, mengutamakan prestasi, mencatat bidang yang dapat ditingkatkan atau bidang lain yang terabaikan.
6.         Anggaran Global Sekolah (AGS)
Melalui dimensi ini, merupakan model pembiayaan berbasis formula, yang terdiri dari elemen dasar bagi semua sekolah, bersama-sama dengan rasa keadilan berdasarkan pada karakteristik siswa yang mendaftar. Pada saat yang sama, AGS merupakan suatu usaha untuk menyesuaikan sumberdaya bagi kebutuhan belajar. AGS menyediakan pembiayaan bagi semua pengeluaran berbasis sekolah, termasuk gaji staf, biaya operasional dan pemeliharaan sekolah.
AGS pada dasarnya merupakan suatu ‘Needs-based activity-led funding model (model pembiayaan kegiatan berbasis kebutuhan). Oleh karena itu, sekolah harus memiliki fleksibilitas dalam mengalokasikan semua sumberdaya sesuai dengan kebutuhan lokal.[12]
Dari dimensi-dimensi upaya reformasi birokrasi pendidikan melalui Sekolah Masa Depan diharapkan adanya perubahan kualitas pendidikan bagi siswa dengan melimpahkan tanggung jawab ke sekolah dalam membuat keputusan, menentukan prioritas dan mengawasi sumberdaya yang ada pada sekolah.

PENUTUP
A.           Kesimpulan
Reformasi birokrasi pendidikan hendaknya tidak dilakukan secara sektoral. Dengan kata lain, tidak hanya pada sisi kurikulumnya saja. Angaran, evaluasi dan lainnya harus mendapatkan perhatian yang proporsional.
Sekolah Masa Depan hendaknya menjadi konsep dasar dalam melakukan perbaikan birokrasi pendidikan. Sekolah Masa Depan pun harus juga dikritisi apabila seiring dengan berjalannya waktu, hal tersebut sudah tidak relavan lagi.
Peran guru, orang tua, pemerintah tentunya sangat penting dalam lapak tilas reformasi birokrasi pendidikan.

B.            Kritik dan Saran
Dengan ini kami membuka ruang diskusi yang lebih jauh lagi, demi terciptanya khazanah keilmuan yang lebih sempurna, khususnya pada pembahasan makalah ini. Silahkan email ke suprihatinalghozali@aol.com!









DAFTAR PUSTAKA

Agus Dwiyanto. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Darmaningtyas. Pendidikan Rusak-Rusakan,  Yogyakarta: LkiS, 2011.
Http://ejournal.umm.ac.id/
Http://www.republika.co.id/
Ibtisam Abu Duhou. Manajemen Berbasis Sekolah, diterjemahkan oleh  Noryamin, Suparto, dan Abas Al-Jauhari dari judul School-Based Management. Jakarta: Logos, 2002.
Sirozi M. Politik Pendidikan, Dinamika Hubungan Antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta: Rajawali Press, 2005.





[1] Darmaningtyas.. Pendidikan Rusak-Rusakan,  Yogyakarta: LkiS, 2011, h. v
[3] Agus Dwiyanto, Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010, hal. 23
[4] http://reformasi-birokrasi.kkp.go.id/rf_istilah.php (Diakses pada 1 Maret 2015 pukul 09.00 wib)
[5] http://www.menpan.go.id/reformasi-birokrasi/530-makna-dan-tujuan (Diakses pada 1 Maret 2015 pukul 09.00 wib)
[7] Abdul Haris, Respon Sekolah Muhammadiyah terhadap Penerapan Manajemen  Berbasis Sekolah (MBS): Studi pada empat sekolah di Komplek Perguruan Muhammadiyah Tlogomas Malang, dalam  http://ejournal.umm.ac.id/index.php/humanity/article/view/114/118. Diakses pada 2 Maret 2015.
[8] M. Sirozi, Politik Pendidikan, Dinamika Hubungan Antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta: Penerbit Rajawali Press, 2005, hal. 1.
[9] M. Sirozi, Politik Pendidikan, Dinamika Hubungan Antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta: Rajawali Press, 2005, hal.83-84.
[10] Ibtisam Abu Duhou, Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta: Logos, 2002, hal. 74.
[11] Ibtisam Abu Duhou, Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta: Logos, 2002, hal. 78.
[12] Ibtisam Abu Duhou, Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta: Logos, 2002, hal. 83.

1 komentar:

  1. "Pentingnya Reformasi Pendidikan bagi Revolusi mental Bangsa"
    "
    http://rahmatfredy.blog.com/2015/12/25/pentingnya-reformasi-pendidikan-dalam-rangka-revolusi-mental-bangsa-indonesia/

    BalasHapus